WELCOME TO MY SIMPLE BLOG, MAY USEFUL FOR US

Saturday, August 21, 2021

Efektivitas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ) Dalam Menekan Tingkat Kecelakaan Lalu Lintas

 BAB I PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Indonesia merupakan negara hukum. Setiap sendi kehidupan diatur oleh hukum yang berlaku di negara ini. Salah satu implementasi hukum adalah mengenai permasalahan dalam lalu lintas. Lalu lintas merupakan gerak atau pindah kendaraan dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan menggunakan alat gerak. Penegakan hukum mengenai lalu lintas diatur sedemikian rupa untuk menekan adanya pelanggaran lalu lintas maupun hal-hal yang tidak diinginkan lainnya, seperti kecelakaan lalu lintas.

Kecelakaan lalu lintas akhir-akhir ini sangat sering terjadi dan banyak menimbulkan kerugian. Indonesia dilaporkan masih menjadi salah satu negara dengan tingkat kecelakaan lalu lintas tertinggi di dunia. Kecelakaan lalu lintas di Indonesia dapat digambarkan dari data dalam kurun waktu 26 tahun terakhir, menunjukkan bahwa kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Indonesia telah merenggut banyak korban jiwa.

 Untuk mengatasi angka kecelakaan yang tinggi tersebut, pada tahun 2009, Pemerintah mengeluarkan peraturan baru sebagai pengganti atas peraturan lama (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992) yaitu Undang-Undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Undang-Undang tersebut memiliki tujuan dalam hal menekan tingkat kecelakaan lalu lintas. Undang-Undang ini telah berlaku selama kurang lebih selama sepuluh tahun..

Dari permasalahan tersebut, sangatlah penting dikaji mengenai efektivitas Undang-Undang nomor 22 tahun 2009. Dalam makalah ini, penulis memberikan judul “EFEKTIVITAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DALAM MENEKAN TINGKAT KECELAKAAN LALU LINTAS.”

 

B.       Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut.

1.      Bagaimana efektivitas UULLAJ Nomor 22 tahun 2009 dalam menekan tingkat kecelakaan lalu lintas jika dibandingkan dengan UULLAJ Nomor 14 tahun 1992?

2.      Faktor-faktor apakah yang dapat menghambat pelaksanaan UULLAJ Nomor 22 tahun 2009 dalam menekan tingkat kecelakaan lalu lintas?

3.      Bagaimana penegakan hukum kasus kecelakaan lalu lintas berdasarkan UULLAJ Nomor 22 tahun 2009?

 

C.       Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.

1.      Untuk  mengkaji keefektifan UULLAJ dalam menekan tingkat kecelakaan lalu lintas jika dibandingkan dengan UULLAJ Nomor 14 tahun 1992.

2.      Untuk mengetahui faktor yang dapat menghambat implementasi UULLAJ dalam menekan tingkat kecelakaan lalu lintas.

3.      Untuk mengetahui penegakan hukum kasus kecelakaan lalu lintas berdasarkan UULLAJ Nomor 22 tahun 2009.

 

BAB II LANDASAN TEORI

A.      Kecelakaan Lalu Lintas

1.1  Pengertian

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Kecelakaan lalu-lintas adalah kejadian di mana sebuah kendaraan bermotor tabrakan dengan benda lain dan menyebabkan kerusakan. Kadang kecelakaan ini dapat mengakibatkan luka-luka atau kematian manusia atau binatang. Kecelakaan lalu-lintas menelan korban jiwa sekitar 1,2 juta manusia setiap tahun menurut WHO.[1]

Kecelakaan lalu lintas adalah suatu kejadian kecelakaan yang tidak terduga, tidak direncanakan dan diharapkan yang terjadi di jalan raya atau sebagai akibat dari kesalahan dari suatu akitivitas manusia di jalan raya, yang mana mengakibatkan luka, sakit, kerugian baik pada manusia, barang maupun lingkungan.

Kecelakaan lalu lintas menurut pasal 1 UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan (“UULLAJ”) angka 24 adalah sebagai berikut.

“Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda”[2]

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas yakni :

1.    Kelalaian pengguna jalan, misalnya : menggunakan handphone ketika mengemudi, kondisi tubuh letih dan mengantuk, mengendarai kendaraan dalam keadaan mabuk,kurangnya pemahaman terhadap rambu-rambu lalu lintas dsb.

2.    Ketidaklaikan kendaraan, misalnya : kendaraan dengan modifikasi yang tidak standard, rem blong,kondisi ban yang sudah tidak layak pakai,batas muatan yang melebihi batas angkut kendaraan dsb.

3.    Ketidaklaikan jalan dan/atau lingkungan. : kondisi jalan yang berlubang, kurangnya pemasangan rambu-rambu lalu lintas dan marka jalan dsb.[3]

Kecelakaan lalu lintas sendiri di dalam pasal 229 ayat (1) UULLAJ digolongkan atas:

Kecelakaan Lalu Lintas ringan; merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang,

Kecelakaan Lalu Lintas sedang, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.

Kecelakaan Lalu Lintas berat, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.[4]

Secara umum mengenai kewajiban dan tanggung jawab Pengemudi, Pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan ini diatur dalam Pasal 234 ayat (1) UU LLAJ yang berbunyi:

 

“Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/ atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/ atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi.”

 

Namun, ketentuan tersebut di atas tidak berlaku jika:

a.    Adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi;

b.    Disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/ atau

c.    Disebabkan gerakan orang dan/ atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan.

Pihak yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan. Kewajiban mengganti kerugian ini dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat (Pasal 236 UU LLAJ).

Dapat disimpulkan bahwa bentuk pertanggungjawaban atas kecelakaan lalu lintas yang hanya mengakibatkan kerugian materi tanpa korban jiwa adalah dalam bentuk penggantian kerugian.

 Di dalam UULLAJ tersebut terdapat perlindungan bagi korban lalu lintas dan  hak korban untuk menuntut ganti rugi di dalamnya.   Menurut pasal 240 UULLAJ dijelaskan :

 Korban Kecelakaan Lalu Lintas berhak mendapatkan:

1.        Pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas dan/atau Pemerintah.

2.        Ganti kerugian dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas.

3.        Santunan Kecelakaan Lalu Lintas dari perusahaan asuransi.

Hak korban untuk menuntut ganti rugi selanjutnya diterangkan pada pasal 235, 236 dst antara lain korban berhak atas biaya pengobatan dan biaya pemakaman.

 

1.2  Sanksi Pidana

Dalam penentuan proses hukum pidana yang akan dilakukan selanjutnya, akibat dari kecelakaan lalu lintas tersebut dibedakan sebagai berikut.[5]

a.    Mengakibatkan korban materi tanpa korban jiwa

Contoh kasus kecelakaan lalu lintas tersebut yakni seseorang/perusahaan jasa angkutan barang yang mengalami kecelakaan.

Dalam hal menentukan apakah kecelakaan yang mengakibatkan kerugian materi tanpa korban jiwa merupakan tindak pidana atau bukan, berikut ini dapat kami jelaskan bahwa menurut S.R. Sianturi dalam bukunya berjudul “Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya” (2002 : 211), suatu tindakan dinyatakan sebagai tindak pidana jika memenuhi unsur-unsur:[6]

o   Subjek;

o   Kesalahan;

o   Bersifat melawan hukum (dari tindakan);

o   Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/ perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana;

o   Waktu, tempat dan keadaan.

Jika dikaitkan dengan kecelakaan lalu lintas sebagaimana tersebut di atas, baik kecelakaan lalu lintas ringan, sedang maupun berat adalah termasuk tindak pidana. Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 230 UU LLAJ yang berbunyi:[7]

“Perkara Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Berdasarkan uraian di atas, maka pihak yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kerugian materi tanpa korban merupakan pelaku tindak pidana dan akan diproses secara pidana karena tindak pidananya.

Sanksi hukum yang dapat dikenakan atas kejadian tersebut di atas bagi pengemudi karena kelalaian adalah sanksi pidana yang diatur dalam dalam Pasal 310 ayat (1) UU LLAJ yang berbunyi :

 (1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/ atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

 Sedangkan dalam hal pengemudi kendaraan bermotor dengan sengaja membahayakan kendaraan/barang, diatur dalam Pasal 311 ayat (2) UU LLAJ yang berbunyi:

 (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/ atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 4.000.000,00 (empat juta rupiah).

 Selain pidana penjara, kurungan, atau denda, pelaku tindak pidana lalu lintas dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi atau ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu lintas (Pasal 314 UU LLAJ).

Sedangkan untuk perusahaan jasa angkutan umum, dapat dikenakan sanksi yang diatur dalam pasal-pasal berikut:

Pasal 188

Perusahaan Angkutan Umum wajib mengganti kerugian yang diderita oleh Penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan pelayanan angkutan.

                 Pasal 191

Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan.

                 Pasal 193

1.    Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim barang karena barang musnah, hilang, atau rusak akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali terbukti bahwa musnah, hilang, atau rusaknya barang disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau kesalahan pengirim.

2.    Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami.

3.    Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak barang diangkut sampai barang diserahkan di tempat tujuan yang disepakati.

4.    Perusahaan Angkutan Umum tidak bertanggung jawab jika kerugian disebabkan oleh pencantuman keterangan yang tidak sesuai dengan surat muatan angkutan barang.

Selain sanksi penggantian kerugian, perusahaan angkutan umum yang bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim barang karena barang musnah, hilang, atau rusak akibat penyelenggaraan angkutan dapat diberikan sanksi berupa (lihat Pasal 199 ayat [1] UU LLAJ):

a.      peringatan tertulis;

b.      denda administratif;

c.      pembekuan izin; dan/atau

d.      pencabutan izin.

 

Dapat disimpulkan bahwa kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kerugian materi namun tidak ada korban jiwa, perusahaan angkutan umum dapat dikenakan sanksi penggantian kerugian berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami sebagaimana telah kami uraikan di atas dan/atau sanksi administratif sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b.    Mengakibatkan korban materi dan korban jiwa

Pasal 310

“Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalin dengan :

1.    Kerusakan kendaraan dan/atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam ) bulan dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000,00- (satu juta rupiah).

2.    Korban luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.2.000.000,00- (dua juta rupiah).

3.    Korban luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.10.000.000,00- (sepuluh juta rupiah), dalam hal kecelakaan tersebut mengakibatkan orang lain meninggal dunia dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam ) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.12.000.000,00- (dua belas juta rupiah).”

Pasal 311

“Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara dan keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.3.000.000,- (tiga juta rupiah).”

Dalam hal perbuatan tersebut mengakibatkan kecelakaan lalin dengan :

1.    Kerusakan kendaraan dan/atau barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.4.000.000,00- (empat juta rupiah).

2.    Korban luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp.8.000.000,00- (delapan juta rupiah).

3.    Korban luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah), dalam hal kecelakaan tersebut mengakibatkan orang lain meninggal dunia dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp.24.000.000,- (dua puluh empat juta rupiah).

Bagi pelaku tindak pidana lalu lintas dapat dijatuhi pidana berupa pidana penjara, kurungan, atau denda dan selain itu dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi atau ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu lintas.

 

B.       Efektivitas Hukum

2.1  Pengertian

Istilah teori efektivitas hukum berasal dari terjemahan bahasa inggris, yaitu effectiviness of legal theory bahasa Belanda disebut effectiviteit van de jurisdische theorie, bahasa jermannya yaitu wirksamkeit der rechtlichen theorie. Ada tiga suku kata yang terkandung dalam teori efektivitas hukum, yaitu teori, efektivitas, dan hukum. Didalam kamus besar bahasa indonesia, ada dua istilah yang berkaitan dengan efektivitas, yaitu efektif dan keefektifan.[8]

Efektif artinya ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya), Manjur atau mujarab, dapat membawa hasil, berhasil guna (tentang usaha guna, atau tindakan), mulai berlaku (tentang undang-undang, peraturan). Keefektifan artinya keadaan berpengaruh, hal berkesan, kemanjuran, kemujaraban, keberhasilan (usaha, tindakan) dan mulai berlakunya (undang-undang-peraturan).[9]

Konsep efektivitas dalam definisi Hans Kelsen difokuskan pada subjek dan sanksi. Subjek yang melaksanakannya, yaitu orang-orang atau badan hukum. Orang-orang tersebut harus melaksanakan hukum sesuai dengan bunyi norma hukum. Bagi orang-orang yang dikenai sanksi hukum, maka sanksi hukum benar-benar dilaksanakan atau tidak.[10]

Dapat disimpulkan bahwa efektivitas hukum berarti bahwa orang benar-benar berbuat sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana mereka harus berbuat, bahwa norma-norma itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi.

 

2.2  Faktor-Faktor Ketidakefektifan Hukum

 Menurut Soerjono Soekanto bahwa faktor  penyebab ketidakefektifan hukum ada lima, yaitu :[11]

a.    Faktor Hukum

Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif.

Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup low enforcement saja, namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.

Dengan demikian, tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan dengan hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-undangan yang dapat mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya jelas bagi setiap warga masyarakat yang diaturnya dan serasi antara kebutuhan untuk menerapkan peraturan dengan fasilitas yang mendukungnya.

Mengenai faktor hukum dalam hal ini dapat diambil contoh pada pasal 363 KUHP yang perumusan tindak pidananya hanya mencantumkan maksimumnya saja, yaitu 7 tahun penjara sehingga hakim untuk menentukan berat ringannya hukuman dimana ia dapat bergerak dalam batas-batas maksimal hukuman.

Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku kejahatan itu terlalu ringan, atau terlalu mencolok perbedaan antara tuntutan dengan pemidanaan yang dijatuhkan. Hal ini merupakan suatu penghambat dalam penegakan hukum tersebut.

b.    Faktor Penegakan Hukum

Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum dengan mengutip pendapat J. E. Sahetapy yang mengatakan :

Dalam rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum (inklusif manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan”.

Di dalam konteks di atas yang menyangkut kepribadian dan mentalitas penegak hukum, bahwa selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum, artinya hukum diidentikkan dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum. Sayangnya dalam melaksanakan wewenangnya sering timbul persoalan karena sikap atau perlakuan yang dipandang melampaui wewenang atau perbuatan lainnya yang dianggap melunturkan citra dan wibawa penegak hukum, hal ini disebabkan oleh kualitas yang rendah dari aparat penegak hukum tersebut.

Hal ini dapat berakibat tidak memahami batas-batas kewenangan, karena kurang pemahaman terhadap hukum, sehingga terjadi penyalahgunaan wewenang dalam melakukan tugas penyidikan dan tugas kepolisian lainnya.

Masalah peningkatan kualitas ini merupakan salah satu kendala yang dialami diberbagai instansi, tetapi khusus bagi aparat yang melaksanakan tugas wewenangnya menyangkut hak asasi manusia (dalam hal ini aparat penegak hukum) seharusnya mendapat prioritas. Walaupun disadari bahwa dalam hal peningkatan mutu berkaitan erat dengan anggaran lainnya yang selama ini bagi Polri selalu kurang dan sangat minim.

c.    Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung

Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan di dalam tujuannya, diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan computer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini masih diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi begitu luas dan banyak.

Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual.

d.     Faktor Masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.

Sikap masyarakat yang kurang menyadari tugas polisi, tidak mendukung, dan malahan kebanyakan bersikap apatis serta menganggap tugas penegakan hukum semata-mata urusan polisi, serta keengganan terlibat sebagai saksi dan sebagainya. Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat dalam penegakan hukum.

e.    Faktor Kebudayaan

Dalam kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.

Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolok ukur dari efektifitas penegakan hukum. Dari lima faktor penegakan hukum tersebut faktor penegakan hukumnya sendiri merupakan titik sentralnya. Hal ini disebabkan oleh baik undang-undangnya disusun oleh penegak hukum, penerapannya pun dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegakan hukumnya sendiri juga merupakan panutan oleh masyarakat luas.

 

C.       Penegakan Hukum

3.1  Pengertian

Penegakan hukum (Law Enforcement) merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka usaha pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum baik yang bersifat penindakan maupun pencegahan yang mencakup seluruh kegiatan baik teknis maupun administratif yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum sehingga dapat melahirkan suasana aman, damai dan tertib untuk mendapatkan kepastian hukum dalam masyarakat, dalam rangka menciptakan kondisi agar pembangunan disegala sektor itu dapat dilaksanakan oleh pemerintah.

Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum (law enforcement) menghendaki empat syarat, yaitu : adanya aturan, adanya lembaga yang akan menjalankan peraturan itu, adanya fasilitas untuk mendukung pelaksanaan peraturan itu, adanya kesadaran hukum dari masyarakat yang terkena peraturan itu. Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo pengamatan berlakunya hukum secara lengkap ternyata melibatkan berbagai unsur sebagai berikut : (1) Peraturan sendiri., (2) Warga negara sebagai sasaran pengaturan, (3) Aktivitas birokrasi pelaksana., (4) Kerangka sosial-politik-ekonomi-budaya yang ada yang turut menentukan bagaimana setiap unsur dalam hukum tersebut di atas menjalankan apa yang menjadi bagiannya.

Secara umum penegakan hukum dapat diartikan sebagai tindakan menerapkan perangkat sarana hukum tertentu untuk memaksakan sanksi hukum guna menjamin pentaatan terhadap ketentuan yang ditetapkan tersebut, sedangkan menurut Satjipto Rahardio, penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum (yaitu pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum) menjadi kenyataan.

 

3.2  Penegakan Hukum dalam Lalu Lintas

Penegakan hukum bidang lalu lintas dan angkutan jalan adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum bidang lalu lintas dan angkutan jalan secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan. Norma-norma hukum dalam penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Penegakan hukum lalu lintas dan angkutan jalan terbagi atas :[12]

1.    Penyidikan perkara kecelakaan lalu lintas

Pengertian tentang penyidikan, antara lain dikutip dari Pasal 1 Undang-undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yaitu “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan barang bukti yang dengan barang bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menentukan tersangkanya”

Berkaitan dengan hal tersebut, maka yang dimaksud dengan penyidikan kecelakaan lalu lintas, adalah merupakan upaya pengungkapan pelaku, barang bukti dan TKP (tempat kejadian perkara) yang merupakan bukti segitiga dalam pembuktiannya, di mana TKP merupakan unsur utama yang diharapkan dapat memberikan gambaran kejadian kecelakaan yang sebenarnya. Penyidikan kecelakaan lalu lintas dimulai dari tahap pra penyidikan, proses penyidikan itu sendiri dan pelimpahan berkas penyidikan kepada Penuntut Umum.

Tahap pra penyidikan dimulai dari saat mendatangi TKP (Tempat Kejadian Perkara). Setelah menerima laporan tentang adanya suatu kejadian kecelakaan lalu lintas, petugas Polisi Lalu lintas segera menyiapkan perlengkapan untuk mendatangi TKP kecelakaan lalu lintas tersebut. Setelah tiba di TKP, maka petugas segera mengamankan TKP tersebut.

Kegiatan yang dilaksanakan di TKP selanjutnya adalah pengolahan TKP kecelakaan lalu lintas oleh petugas, dimulai dari pengukuran, pemotretan, mencatat identitas saksi dan korban, pengamanan barang bukti, dan pembuatan Sket TKP

Setelah semua kegiatan di TKP selesai dilaksanakan, maka dilakukanlah kegiatan  pengakhiran di TKP. Kegiatan yang dilaksanakan, antara lain konsolidasi, pembukaan TKP, dan permintaan Visum et Revertum (VER) terhadap korban kecelakaan lalu lintas.  Kegiatan pengolahan di TKP ini diakhiri dengan pembuatan Berita Acara Pemeriksaan di TKP (BAP TKP). Selain Berita Acara Pemeriksaan di TKP dibuat juga Berita Acara Pemotretan di TKP dan Berita Acara lain-lain sesuai tindakan yang dilakukan.  Petugas juga harus mengadakan koordinasi dengan pihak Jasa Raharja dalam rangka mempercepat klaim asuransi bagi korban luka maupun meninggal dunia.

Kegiatan selanjutnya para petugas kembali ke kantor dan memulai tahap selanjutnya, yaitu penyidikan kecelakaan lalu lintas.  Proses penyidikan dilakukan dengan membuat berita acara. Pembuatan berita acara dalam proses penyidikan kecelakaan lalu lintas dapat dilakukan dalam bentuk berita acara pemeriksaan singkat maupun berita acara pemeriksaan biasa. Untuk kecelakaan lalu lintas dengan korban meninggal dunia dan atau luka berat dibuat dalam acara pemeriksaan biasa (pasal 152-202 KUHAP), sedangkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka ringan dan atau rugi material dibuat dalam acara pemeriksaan singkat.

2.    Penindakan pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan

Penindakan pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan dilaksanakan dengan menggunakan acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas. Seperti diketahui proses penegakan hukum telah diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).[13] Secara umum proses penegakan hukum (proses di pengadilan) terhadap suatu tindak pidana dapat dikelompokkan atas 3 (tiga) kelompok, yaitu :

A.      Acara Pemeriksaan Biasa (Bagian Ketiga, Bab XVI KUHAP)

B.       Acara Pemeriksaan Singkat (Bagian Kelima Bab XVI KUHAP)

C.       Acara Pemeriksaan Cepat (Bagian Keenam Bab XVI KUHAP)

 

BAB III PEMBAHASAN

A.      Efektivitas UULLAJ no 22 Tahun 2009

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 26 Mei 2009 yang kemudian disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 22 Juni 2009. Undang-Undang ini adalah kelanjutan dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992, terlihat bahwa kelanjutannya adalah merupakan pengembangan yang signifikan dilihat dari jumlah clausul yang diaturnya, yakni yang tadinya 16 bab dan 74 pasal, menjadi 22 bab dan 326 pasal.

Jika kita melihat UU sebelumnya yakni UU Nomor 14 Tahun 1992 menyebutkan Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, transportasi memiliki posisi yang penting dan strategis dalam pembangunan bangsa yang berwawasan lingkungan dan hal ini harus tercermin pada kebutuhan mobilitas seluruh sektor dan wilayah. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan serta mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan negara.

Berbeda dengan undang-undang Nomor 22 Tahun 2009, UU ini melihat bahwa lalu lintas dan angkutan jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum. Dalam hal ini, terlihat bahwa seharusnya Undang-Undang nomor 22 tahun 2009 lebih dapat menekan Tingkat Kecelakaan Lalu Lintas di Indonesia.

Tabel 1 Perbandingan Pengaturan Undang-Undang Lalu Lintas AJ

UU Nomor 14 Tahun 1992

UU Nomor 22 Tahun 2009

Bab I Ketentuan Umum

Bab I Ketentuan Umum

Bab II Asas dan Tujuan

Bab II Asas dan Tujuan

Bab III Pembinaan

Bab III Ruang Lingkup Keberlakuan Undang-Undang

Bab IV Prasarana

Bab IV Pembinaan

Bab V Kendaraan

Bab V Penyelenggaraan

Bab VI Pengemudi

Bab VI Jaringan Lalu Lintas danAngkutan Jalan

Bab VII Lalu Lintas

Bab VII Kendaraan

Bab VIII Angkutan

Bab VIII Pengemudi

Bab IX Lalu Lintas dan Angkutan

Bab IX Lalu Lintas bagi Penderita Cacat

Bab X Dampak Lingkungan

Bab X Angkutan

Bab XI Penyerahan Urusan

Bab XI Keamanan danKeselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Bab XII Penyidikan

Bab XII Dampak Lingkungan

Bab XIII Ketentuan Pidana

Bab XIII Pengembangan Industri dan Teknologi Sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Bab XIV Ketentuan Lain-Lain

Bab XIV Kecelakaan Lalu Lintas

Bab XV Ketentuan Peralihan

Bab XV Perlakuan Khusus bagi Penyandang Cacat, Manusia Usia Lanjut, Anak-Anak, Wanita Hamil, dan Orang Sakit

Bab XVI Ketentuan Penutup

Bab XVI Sistem Informasi danKomunikasi Lalu Lintas danAngkutan Jalan

Bab XVII Sumber Daya Manusia

Bab XVIII Peran Serta Masyarakat

Bab XIX Penyidikan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Bab XX Ketentuan Pidana

Bab XXI Ketentuan Peralihan

Bab XXII Ketentuan Penutup

Efektivitas Undang-Undang no 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengandung arti bahwa tingkat keberhasilan atau kesuksesan Undang-Undang tersebut dalam mengurangi atau menekan tingkat kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Indonesia. Dalam hal ini, untuk mengetahui keefektifan dari Undang-Undang tersebut, dilakukan perbandingan data statistik mengenai tingkat kecelakaan lalu lintas di Indonesia pada tahun 1992-2008 (UULLAJ Nomor 14 Tahun 1992) dan tahun 2009-2017 (UULLAJ Nomor 22 tahun 2009) untuk mengetahui seberapa efektif Undang-Undang tersebut sejak disahkan.

 

Tabel 1. Data Statistik Tingkat Kecelakaan Lalu Lintas di Indonesia tahun 1992-2008[14]

Kecelakaan

Jumlah

Kecelakaan

Korban Mati (Orang)

Luka Berat (Orang)

Luka Ringan (Orang)

Kerugian Materi (Juta Rupiah)

1992

19.920

9.819

13.363

14.846

15.077

1993

17.323

10.038

11.453

13.037

14.714

1994

17.469

11.004

11.055

12.215

16.544

1995

16.510

10.990

9.952

11.873

17.745

1996

15.291

10.869

8.968

10.374

18.411

1997

17.101

12.308

9.913

12.699

20.848

1998

14.858

11.694

8.878

10.609

26.941

1999

12.675

9.917

7.329

9.385

32.755

2000

12.649

9.536

7.100

9.518

36.281

2001

12.791

9.522

6.656

9.181

37.617

2002

12.267

8.762

6.012

8.929

41.030

2003

13.399

9.856

6.142

8.694

45.778

2004

17.732

11.204

8.983

12.084

53.044

2005

91.623

16.115

35.891

51.317

51.556

2006

87.020

15.762

33.282

52.310

81.848

2007

49.553

16.955

20.181

46.827

103.289

2008

59.164

20.188

23.440

55.731

131.207

Rata-rata

40.612

12.032

13.447

20.566

43.805

 

Tabel 2. Data Statistik Tingkat Kecelakaan Lalu Lintas di Indonesia tahun 2009-2017[15]

Kecelakaan

Jumlah

Kecelakaan

Korban Mati (Orang)

Luka Berat (Orang)

Luka Ringan (Orang)

Kerugian Materi (Juta Rupiah)

2009

62.960

19.979

23.469

62.936

136.285

2010

66.488

19.873

26.196

63.809

158.259

2011

108.696

31.195

35.285

108.945

217.435

2012

117.949

29.544

39.704

128.312

298.627

2013

100.106

26.416

28.438

110.448

255.864

2014

95.906

28.297

26.840

109.741

250.021

2015

98.970

26.495

23.937

110.714

272.318

2016

106.129

26.185

22.558

121.550

226.833

2017

98.419

25.859

16.159

---

212.000

Rata-rata

84.072

25.982

26.954

102.056

225.293

Keterangan :

§  Jumlah luka ringan tahun 2017 tidak diketahui.

§  Jumlah kerugian materi tahun 2017 bersifat perkiraan yaitu sekitar 212.000 (Sumber : POLRI)

§  Data tahun 2018 belum direkap oleh BPS maupun POLRI.

Berdasarkan data statistik di atas, dapat diberikan penjelasan sebagai berikut.

Rata-rata tingkat kecelakaan lalu lintas periode tahun 2009-2017 lebih besar daripada periode tahun 1992-2008 dari keseluruhan yakni jumlah kecelakaan, jumlah korban meninggal, jumlah korban luka berat, jumlah korban luka ringan, serta jumlah kerugian materi. Dalam hal ini, dapat diambil sebuah fakta bahwa faktor utama perbedaan yang sangat signifikan ini adalah dari tahun ke tahun jumlah kendaraan bermotor semakin bertambah. Hal tersebut, menyebabkan semakin banyaknya volume kendaraan bermotor di jalan raya. Padahal dapat diketahui bahwa jalan raya yang kini kian semakin tidak memadai dengan volume kendaraan yang membludak tersebut. Sehingga apabila perbandingan didasarkan pada jumlah ataupun kuantitas sangatlah tidak relevan. Untuk itu, akan dikaji perubahan persentase dalam tiap periodenya.

Pada periode tahun 1992-2008 Indonesia masih menggunakan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan no 14 tahun 1992. Grafik menujukkan hasil yang baik dari tahun 1992 hingga tahun 2004, yaitu bahwa tingkat kecelakaan lalu lintas dapat ditekan dalam angka di bawah 20.000 kasus. Dalam hal ini penekanan dianggap stabil, artinya pelaksanaan Undang-Undang cukup efektif. Namun, pada tahun 2005 tingkat kecelakaan lalu lintas melonjak dengan sangat signifikan yaitu pada angka 91.623 kasus dari sebelumya yaitu 17.732 kasus. Tentu hal ini merupakan suatu masalah dalam tahun tersebut. Jumlah kasus kecelakaan lalu lintas meningkat hampir sekitar 800 %. Mulai tahun inilah UULLAJ nomor 14 tahun 1992 ini mulai tidak efektif. Hal ini dapat dibuktikan bahwa pada tahun 2005 hingga tahun 2008 tidak ada penurunan yang signifikan seperti pada periode tahun 1992-2004. Dalam hal ini, diputuskanlah digantinya UULLAJ nomor 14 tahun 1992 dengan UULLAJ nomor 22 tahun 2009.

Pada periode tahun 2009-2017 Indonesia telah menggunakan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan no 22 tahun 2009 sebagai pengganti dari Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan no 14 tahun 1992. Pada dua tahun pertama, yaitu pada tahun 2009 dan 2010 tingkat kecelakaan lalu lintas dapat diminimalisir atau ditekan, walaupun masih meningkat dari tahun 2008. Pada tiga tahun berikutnya (2011,2012, dan 2013), tingkat kecelakaan lalu lintas kembali melonjak hingga sekitar 40%. Pada tahun 2014-2015, angka kecelakaan lalu lintas cukup stabil. Pada tahun 2016, angka kecelakaan lalu lintas kembali meningkat dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2017, tingkat kecelakaan lalu lintas mulai dapat ditekan, hal tersebut dapat dibuktikan bahwa angka kecelakaan lalu lintas menurun dari tahun 2016

Berdasarkan perihal tersebut, dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan nomor 22 tahun 2009 lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan nomor 14 tahun 1992. Hal ini dapat dibuktikan dengan persentase kenaikan tingkat kecelakaan lalu lintas. Pada periode tahun 1992-2008 persentase kenaikan kecelakaan lalu lintas sangat signifikan, bahkan pernah mencapai 800 % sebagai persentase tertingginya. Tentu, jika Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan nomor 14 tahun 1992 ini dibiarkan berlaku maka akan semakin tidak efektif dalam menekan kecelakaan lalu lintas. Sedangkan pada periode tahun 2009-2017 persentase kenaikan tingkat kecelakaan lalu lintas tetaplah ada, namun tidak sesignifikan periode tahun 1992-2008.

Dalam UU Nomor 22 tahun 2009, dikemukakan aturan-aturan yang lebih detail dalam mengatur segala hal mengenai lalu lintas dan angkutan jalan dibandingan dengan UU Nomor 14 tahun 1992. Oleh karenanya, pada tahun 2009, tingkat kecelakaan lalu lintas dapat ditekan. Dalam hal ini, terlihat bahwa Undang-Undang ini berlaku dengan cukup efektif.

Terlepas dari Undang-Undang Nomor 14 tahun 1992, dalam efektivitas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 dapat ditinjau dari jumlah kecelakaan lalu lintas periode tahun 2009-2017 tidak stabil dimana pada suatu tahun dapat mengalami penurunan dan pada tahun lainnya dapat mengalami kenaikan. Namun, sebenarnya kenaikan dan penurunan tingkat kecelakaan dalam periode ini masih dalam tarif yang wajar.

 Secara teoritis maupun berdasarkan data-data statistik, Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 memang lebih efektif dalam menekan tingkat kecelakaan lalu lintas. Namun, tidak menutup kemungkinan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 ini tidak berjalan dengan semestinya sehingga dapat memicu adanya kecelakaan lalu lintas. Implementasi Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nomor 22 Tahun 2009 mengalami sejumlah hambatan dikarenakan faktor-faktor sebagai berikut.

1.         Penegakan Hukum

Pada dasarnya program kegiatan penegakan hukum bukan berorientasi mencari kesalahan dari pengguna jalan tetapi lebih berorientasi pada perlindungan, pengayoman dan pelayanan pengguna jalan yang melanggar itu sendiri (Penindakan pelanggaran Helm, Sabuk pengaman dan kelengkapan kendaraan bermotor), Pengguna jalan lainnya (Penindakan pelanggaran SIM, Kecepatan, rambu, marka dan lainnya) serta kepentingan pengungkapan kasus pidana (Penindakan pelanggaran STNK, Nomor rangka, nomor mesin dan lainnya). Program Kegiatan dalam bentuk penegakkan hukum dilaksanakan tidak hanya pada saat Operasi Kepolisian saja tetapi dilaksanakan pula pada lokasi dan jam rawan menurut hasil analisa dan evaluasi yang dilaksanakan oleh bagian analis lalu lintas di lingkungan Polri dalam upaya memelihara keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas.[16]

Penegakan hukum terhadap lalu lintas dapat belum terlaksana secara optimal disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut.

a.         Metode Penegakan Hukum

-       Penerapan hukum sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 22 Tahun 2009 belum dilaksanakan sebagaimana mestinya, seperti penerapan terhadap pasal-pasal ancaman pidana pasal 273 sampai dengan pasal 317 maupun pasal-pasal yang mengatur tentang Pendidikan pengemudi seperti yang tertera pada pasal 78 sampai dengan pasal 79 juncto pasal 87 sampai dengan pasal 89.

-       Penjatuhan vonis oleh hakim terhadap pelaku pelanggaran lalu litas masih mengacu pada tabel tilang (kesepakatan Diljapol) tidak mengindahkan ancaman pidana yang tercantum pada ketentuan yang diatur pada pasal-pasal yang tertera pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 dengan nominal denda yang relatif sangat ringan sehingga vonis yang dijatuhkan tidak memberikan efek jera bagi pelanggar yang dihukum.

-       Sistem tilang dan mekanisme proses peradilan terhadap pelanggaran lalu lintas tidak dilaksanakan sebagaimana mekanisme sidang pengadilan yang benar, bahkan terkesan asal-asalan.

-       Konsistensi dalam pelaksanaan penegakan hukum belum diproyeksikan pada upaya peningkatan keselamatan lalu lintas dan kepatuhan hukum masyarakat walaupun telah ada konsep tentang penindakan dengan pola System Potensial Point Target (SPPT) dan pelaksanaan kawasan tertib lalu lintas (KTL).

-       Penerapan Perda yang bertentangan dengan ketentuan hirarki perundang-undangan.

-       Pemanfaatan teknologi dan laboratorium forensik dalam bidang pengungkapan kasus kecelakaan lalu lintas utamanya kasus-kasus kecelakaan yang menonjol belum dilaksanakan.

b.        Sikap Penegak Hukum

Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan warga-warga masyarakat lainnya, lazimnya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demikian tidaklah mustahil, bahwa antara berbagai kedudukan dan peranan timbul konflik. Kalau di dalam kenyataannya terjadi suatu kesenjangan antara peranan yang seharusnya dengan peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan aktual, maka terjadi suatu kesenjangan peranan. Adapun sikap penegak hukum lalu lintas adalah sebagai berikut:[17]

1.      Lemahnya etika moral dan profesionalisme sebagai aparat penegak hukum serta sikap arogansi yang masih melekat dalam melaksanakan tugas penegakan hukum.

2.      Banyaknya penyimpangan yang dilakukan dengan cara melampaui batas wewenang, pungli, bertindak kasar dan tidak mencerminkan sebagai sosok pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.

3.      Lemahnya koordinasi antar aparat penegak hukum baik sesama aparat penegak hukum di jalan maupun dengan unsur Criminal Justice System (CJS).

4.      Pelaksanaan penegakan hukum oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Departemen Perhubungan / LLAJR terhadap pelanggaran yang sesuai dengan kewenangannya tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada.

5.      Penanganan dan pengelolaan trayek angkutan umum baik angkutan umum antar propinsi maupun trayek didalam satu propinsi sering menimbulkan terjadinya protes akibat adanya tumpang tindih perijinan trayek serta tidak rasionalnya pemberian trayek pada daerah tertentu dengan dalih otonomi daerah.

6.      Traffic Education belum dilaksanakan dengan baik dan kontinyu.

7.      Proses pemberian surat ijian mengemudi (SIM) tidak dilaksanakan sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang ada.

c.         Sarana dan Prasarana

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya.

Adapun beberapa hal tentang sarana dan prasarana yang mempengaruhi peningkatan keselamatan lalu lintas adalah sebagai berikut[18]

1.      Terbatasnya sarana dan prasarana yang mendukung terlaksananya penegakan hukum di bidang lalu lintas antara lain :

a.         Perlengkapan jalan seperti : rambu-rambu, marka jalan, penerangan jalan dan tanda-tanda lalu lintas lain dirasakan masih sangat kurang.

b.        Mobilitas aparat penegak hukum yang tidak mengimbangi hakekat ancaman.

c.         Alat teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk tugas penegak hukum, belum bisa dioperasionalkan secara yuridis.

2.      Tidak berfungsinya jalan sebagaimana mana mestinya, akibatnya penggunaan untuk kaki lima, parkir pada badan jalan, bangunan pada daerah manfaat jalan dan sebagainya.

3.      Rendahnya disiplin dan budaya tertib para pemakai jalan, sebagaimana akibat kualitas disiplin yang rendah, pemahaman aturan yang kurang, dan pengaruh manajemen transportasi yang tidak sehat.

4.      Belum adanya organisasi khusus yang bertanggung jawab terhadap keselamatan lalu lintas di negeri ini dalam wadah / badan koordinasi dibidang lalu lintas yang ada di wilayah-wilayah belum mencerminkan kinerja yang terfokus pada masalah keselamatan lalu lintas.

2.         Kesadaran Masyarakat

Faktor masyarakat merupakan faktor yang paling berperan penting dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan jalan di Kecamatan Pitumpanua. Hal ini dikarenakan Undang-Undang ini mengatur segala aspek peraturan yang menyangkut seluruh kegiatan masyarakat di jalan raya. Mulai dari cara berkendara roda dua sampai sanksi bagi setiap pelanggarnya telah di atur di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan jalan tinggal bagaimana manusia mematuhi setiap peraturan tersebut.

Rendahnya kesadaran masyarakat memicu terjadinya banyak penyimpangan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nomor 22 Tahun 2009. Masyarakat cenderung mengindahkan peraturan-peraturan yang ada dalam Undang-Undang tersebut. Mereka cenderung melanggar peraturan lalu lintas seperti, menerobos lampu lalu lintas, tidak memperhatikan rambu-rambu lalu lintas, berkendara dengan melawan arus. Hal tersebut seringkali dilakukan dengan disertai berbagai alasan misalnya terlambat kerja atau ke sekolah, alasan keluarga dan lain sebagainya.

Rendahnya kesadaran masyarakat untuk mematuhi peraturan lalu lintas menjadi faktor terbesar yang memicu terjadinya kecelakaan lalu lintas. Semakin banyak masyarakat yang tidak memiliki kesadaran hukum, semakin meningkat tingkat kecelakaan lalu lintas di Indonesia.

3.         Faktor Kondisi Jalan raya

Faktor jalan ini dapat menjadi salah satu faktor pemicu dalam kecelakaan lalu lintas. Faktor jalan yang dimaksud seperti desain geometrik jalan dan layout yang tidak sesuai, kondisi permukaan jalan yang kurang memenuhi syarat (berlubang), fasilitas pejalan kaki tidak memadai, pencahayaan jalan. Dengan semakin banyaknya volume pengguna kendaraan bermotor, tentunya membuat jalan raya tidak dapat memadai sebagai mana mestinya.

4.         Faktor Lingkungan/Cuaca

Meski terlihat sepele, namun cuaca hujan deras, angin ribut, berkabut, hingga udara kering yang menyebabkan jalanan berdebu juga tercatat sebagai penyebab kecelakaan. Persentasenya mencapai 13 persen.

Guyuran air hujan selain menyebabkan keterbatasan pandangan juga menjadikan kemampuan ban untuk mencengkeram lintasan juga berkurang. Terlebih bila kendaraan yang berada di depan atau belakang tidak memiliki kewaspadaan yang tinggi atau bermasalah. Di negara-negara tropis seperti Indonesia, faktor cuaca seperti hujan memiliki tingkat potensi tinggi memicu terjadinya kecelakaan.

5.         Faktor Kelalaian Pengemudi

Kelalaian atau ketidakhati-hatian pengemudi ini menjadi faktor terbesar yang dapat memicu kecelakaan lalu lintas. Untuk mengetahui apakah seseorang tersebut tidak berhati-hati dapat dilihat dari faktor eksternal, yaitu tidak mempersiapkan kendaraan dan peralatannya dalam kondisi yang prima.Yang kedua yaitu faktor internal, yaitu penguasaan serta keterampilan pengendara kurang begitu baik atau juga kondisi fisik pengemudi kurang prima, misalnya sedang terkena flu, dalam kondisi mabuk atau mengantuk.

 

B.       Analisis Kasus Kecelakaan Lalu Lintas dengan Tersangka Syaiful Jamil

4.1  Kronologis Kejadian

Kecelakaan yang terjadi di tol Cipularang itu berawal ketika mobil Toyota Avanza nopol B 1843 UFU (Mobil Rental) yang dikemudikan Syaiful Jamil beserta istri dan delapan kerabatnya melaju dari arah Bandung menuju Jakarta. Saat tengah melaju di lajur kanan Km 96.500 arah Bandung-Jakarta, tiba-tiba dari kiri jalan menyalip sebuah bus.

Syaiful Jamil yang saat itu tengah memegang kemudi kaget. Mobil Toyota Avanza tersebut kemudian oleng ke kanan jalan dan menabrak tembok pembatas jalan. Tidak hanya itu saja, setelah menabrak tembok pembatas mobil itu kemudian terbalik. Akibatnya, istri Syaiful Jamil, Virginia Anggraeni yang duduk di jok tengah bagian kanan tewas seketika, sedangkan 9 penumpangnya yang lain mengalami luka-luka yang langsung dievakuasi ke rumah sakit Efarina Etaham, Purwakarta. Para korban dalam kecelakaan lalu lintas itu adalah Virginia Anggraeni (23) warga Kampung Bahari Gg Darma 58 Rt 01/08, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Sedangkan korban luka berat adalah Hafiah (33), Imas (16), Arum (18), semuanya beralamat di Kampung Bahari Gg Darma 58 Rt 01/08, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Korban luka ringan adalah Syaiful Jamil, Fadrin, Fadil, Samsul, Ade dan Qori.[19]

4.2  Fakta dan Opini Kasus

a.    Fakta Kasus

§  Data awal yang dihimpun polisi, mobil tersebut hanya memiliki satu rem dan overkapasitas. Dalam mobil tersebut diisi oleh 10 penumpang, padahal kapasitas seharusnya hanya enam orang.[20]

§  Kendaraan yang dikemudikan Saipul dalam kondisi tidak prima, seperti rem mobil hanya berfungsi satu dari dua bagian kiri dan kanan.

b.    Opini yang beredar

§  Saiful Jamil mengemudi dalam keadaan mengantuk.

§  Angin tiba-tiba bertiup dengan kencang.

§  Kecelakaan terjadi karena jalan tol Cipularang angker.[21]

4.3  Analisis

Dari kasus diatas maka kita dapat mencermati adanya masalah hukum didalamnya. Menabraknya mobil avanza ke pembatas jalan sehingga oleng terjatu dan menewaskan korban merupakan sebuah kecelakaan lalu lintas yang menurut Pasal 229 UU No. 22 Thn 2009 tentang Lalu lintas dan Jalan   tepatnya pasal 4, dapat digolongkan sebagai jenis kecelakaan berat. Adapun  redactional nya adalah sebagai berikut.[22]

 “Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat”

Syaiful Jamil yang dalam hal ini berperan sebagai Pengemudi dituntut harus mempertanggung jawabkan atas kecelakaan yang terjadi meskipun dari Syaiful Jamil sendiri  tidak pernah ada niat dan menginginkan kecelakaan maut itu terjadi.

4.4  Sanksi Pidana

Hal ini karena didalam kecelakaan lalu lintas tersebut, faktor manusialah yg merupakan penyebab utama terjadinya kecelakaan lalu lintas di jalan raya yaitu dikarenakan adanya kecerobohan atau kealpaan Syaiful Jamil dalam mengemudikan kendaraannya. Dalam hal ini, Syaiful Jamil dapat dikatakan bersalah karna tidak adanya rasa hati-hati dan lalai dalam mengemudikan kendaraannya. Masalah-masalah kealpaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dijelaskan pada ketentuan Pasal 359 dan 360, yaitu:

1.        Pasal 359. Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.

2.        Pasal 360. Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapatkan luka berat diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun kurungan paling lama satu tahun.

Menurut uraian pada Pasal 359 dan Pasal 360 dapat disimpulkan bahwa apabila kealpaan atau kelalaian pengemudi itu mengakibatkan orang lain atau korban meninggal dunia ancaman pidananya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Dalam hal ini, kasus kecelakaan Syaiful Jamil diproses secara pidana, walaupun yang meninggal adalah istrinya, Virginia. Berikut penjelasannya menurut UULLAJ Nomor 22 tahun 2009.

Pasal 235 ayat (1) UU No. 22/2009 tentang LLAJ yang berbunyi:

“Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.”[23]

UU LLAJ yang baru memang punya semangat besar untuk menghukum pelanggar seberat-beratnya, termasuk dengan hukuman pidana. Ini berbeda dengan UU LLAJ lama, yakni UU No. 14/1992. Pada Pasal 28 UU tersebut berbunyi:

“Pengemudi kendaraan bermotor bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga, yang timbul karena kelalaian atau kesalahan pengemudi dalam mengemudikan kendaraan bermotor.”[24]

Dan Pasal 31 ayat (1) berbunyi:

“Apabila korban meninggal, pengemudi dan/atau pemilik dan/atau pengusaha angkutan umum wajib memberi bantuan kepada ahli waris dari korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman.”[25]

Jadi, berdasarkan UU LLAJ yang lama, kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia tidak harus diproses secara pidana. Sebaliknya, berdasarkan UU LLAJ yang baru, kecelakaan demikian harus diproses secara pidana, tak peduli yang jadi korban kecelakaan adalah istri atau anak sendiri.

Pasal 310 ayat (4) UU No. 22/2009 yang dipakai polisi untuk menjerat Saipul Jamil. Pasal tersebut berbunyi:

“Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”[26]

Ayat (3) yang dimaksud di situ ialah Pasal 310 ayat (3) yang berbunyi:

“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).”[27]

Sementara itu, Pasal 229 ayat (4) berbunyi:

“Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.”[28]

Dan, Pasal 229 ayat (1) berbunyi:

“Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas:

a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan;

b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau

c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.”

Perlu diketahui bahwa proses penyidikan, penuntutan dan persidangan perkara pidana pasti difokuskan pada unsur-unsur tindak pidana.

Dalam kasus Saipul Jamil, unsur-unsur pidana yang terkandung dalam Pasal 310 ayat (4) UU No. 22/2009 adalah: (1) Setiap orang; (2) Mengemudikan kendaraan bermotor; (3) Karena lalai; dan (4) Mengakibatkan orang lain meninggal dunia.

Sejauh ini, unsur pertama, kedua dan keempat sudah terbukti ada. Tinggal unsur ketiga yang belum terbukti. Melalui penyidikan, pihak polisi hendak membuktikan adanya unsur kelalaian itu.

Dalam uraian di atas, Saipul Jamil akan dijerat dengan Pasal 310 ayat (4) UU No. 22/2009. Ancaman hukuman maksimalnya ialah pidana penjara selama 6 tahun.

Dalam persidangan yang dilakukan di Pengadilan Negeri Purwakarta, Syaiful Jamil dituntut hukuman 1,5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Purwakarta atas kasus kecelakaan yang menewaskan istrinya, Virginia Anggraeni. Namun, pada akhirnya hakim memutuskan memberikan sanksi pidana kepada Syaiful jamil berupa kurungan penjara selama lima bulan dengan sepuluh kali percobaan.

Dalam hal ini, penegakan hukum dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nomor 22 tahun 2009 akan ditegakkan apabila masyarakat melakukan pelanggaran terhadap pelaksanaannya.

 

BAB IV PENUTUP

A.      Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam pembahasan, maka didapat beberapa kesimpulan sebagai berikut.

1.         Berdasarkan analisis data statistik tingkat kecelakaan lalu lintas dalam periode tahun 1992-2008 dan 2009-2017, Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nomor 22 tahun 2009 lebih efektif jika dibandingkan dengan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nomor 14 tahun 1992.

2.         Faktor-faktor yang dapat menghambat implementasi Undang-Undang Lalu Lintas Nomor 22 Tahun 2009 yakni faktor penegakan hukum, kesadaran masyarakat, kondisi jalan raya, lingkungan atau cuaca dan kelalaian pengemudi.

3.         Berdasarkan contoh kasus kecelakaan lalu lintas Syaiful Jamil, penegakan hukum dilakukan secara optimal berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 dengan memberikan sanksi pidana kepada Syaiful Jamil berupa kurungan penjara selama lima bulan.

 

B.       Saran

Berdasarkan dari kesimpulan maka dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut.

1.         Kepada pemerintah, diharapkan semakin berusaha untuk mengurangi tingkat kecelakaan lalu lintas di Indonesia dengan adanya peraturan lalu lintas yang lebih efektif dan efisien serta memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi para pengguna sarana dan prasarana transportasi.

2.         Kepada aparat penegak hukum, diharapkan memiliki etika dan moral yang baik serta semakin meningkatkan professionalisme, ketegasan, dan konsistensi dalam upaya penegakan hukum.

3.         Kepada masyarakat, diharapkan semakin meningkatkan kesadaran hukum mengenai peraturan-peraturan yang telah ada. Dengan semakin sadarnya masyarakat akan peraturan lalu lintas, semakin menekan tingkat kecelakaan lalu lintas.



[1] Kecelakaan Lalu Lintas. https://id.wikipedia.org/wiki/Kecelakaan_lalu-lintas. (Diakses pada Sabtu, 8 Desember 2018 pukul 12.42)

 

[2] UU no 22 tahun 2009. http://hubdat.dephub.go.id/uu/288-uu-nomor-22-tahun-2009-tentang-lalu-lintas-dan-angkutan-jalan.(Diakses pada Sabtu, 8 Desember 2018 pukul 13.32)

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Waskito, Tecky. 2011. Jenis dan Ketentuan Pidana Kecelakaan Lalin Menurut UU 22/2009 & KUHP. https://teckywaskito.wordpress.com/2011/03/01/jenis-dan-ketentuan-pidana-kecelakaan-lalin-menurut-uu-222009-kuhp.(Diakses pada Sabtu, 8 Desember 2018 pukul 13.57)

[6] Musjab, Imam. 2011. Kecelakaan Lalu Lintas Berdasarkan UULLAJ no 22 tahun 2009.https://ahliasuransi.com/kecelakaan-lalu-lintas-berdasarkan-uullaj-no-22-tahun-2009/.(Diakses pada Sabtu, 8 Desember 2018 pukul 13.00)

[7] Ibid.

[8] Sarmyendra, Hendy. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Suatu Hukum. http://sarmyendrahendy.blogspot.com/2012/06/dalamrealita-kehidupan-bermasyarakat.html. (Diakses pada Sabtu, 8 Desember 2018 pukul 23.44)

[9] Redaksi Berita Transparansi.2016. Pengertian Teori Efektivitas Hukum. https://www.beritatransparansi.com/pengertian-teori-efektivitas-hukum/.(Diakses pada Sabtu, 8 Desember 2018 pukul 23.52)

[10] Ibid.

[11] Sarmyendra, Hendy. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Suatu Hukum. http://sarmyendrahendy.blogspot.com/2012/06/dalamrealita-kehidupan-bermasyarakat.html. (Diakses pada Sabtu, 8 Desember 2018 pukul 23.44)

 

[12] Respekalongan.2011. Penegakan Hukum di Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. https://lantasrestapkl.wordpress.com/2011/08/19/penegakan-hukum-di-bidang-lalu-lintas-dan-angkutan-jalan/ (Diakses pada Kamis, 13 Desember 2018 pukul 20.44)

[13] Ibid.

 

[14]  Data Statistik Tingkat Kecelakaan Lalu Lintas di Indonesia. https://www.bps.go.id/ (Diakses pada Sabtu, 8 Desember 2018)

[15] Ibid.

[16] Anggarasena, Bima. Jurnal Strategi Penegakan Hukum dalam Rangka Meningkatkan Keselamatan Lalu Lintas dan Mewujudkan Masyarakat Tertib Hukum  https://core.ac.uk/download/pdf/11722745.pdf. (Diakses pada Kamis, 13 Desember 2018 pukul 21.00)

 

[18] Ibid.

[19] Ayu, Shinta. 2012. Analisis Kasus Kecelakaan Syaiful Jamil https://shintacintahukum.wordpress.com/2012/04/18/analisis-kasus-kecelakaan-syaiful-jamil/. (Diakses pada Jum’at, 14 Desember 2018 pukul 12.36)

 

[20] Ibid.

[21] Ibid.

[22] Ibid.

[24] UU no 22 tahun 2009. http://hubdat.dephub.go.id/uu/288-uu-nomor-22-tahun-2009-tentang-lalu-lintas-dan-angkutan-jalan.(Diakses pada Sabtu, 8 Desember 2018 pukul 13.32)

[25] Ibid.

[26] Ibid.

[27] Ibid.

[28] Ibid.

No comments:

Post a Comment