WELCOME TO MY SIMPLE BLOG, MAY USEFUL FOR US

Saturday, August 21, 2021

Sejarah Perkembangan, Pengenaan Pajak atas Penghasilan, dan Latar Belakang Perubahan UU PPh

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.      Latar Belakang

Pajak memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang sangat potensial. Penerimaan hasil pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran yang berkaitan dengan pembangunan yang dilakukan pemerintah untuk kebutuhan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu pajak merupakan iuran wajib yang dipungut dari warga Negara Indonesia yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang. Untuk mendukung berjalannya pembangun di Indonesia dibutuhkan peran serta kesadaran masyarakat tentang kewajiban membayar pajak, karena pada akhirnya hasil penerimaan pajak dari masyarakat juga akan digunakan untuk kepentingan masyarakat. Sehingga fungsi dari diberlakukannya pajak adalah pencapaian peningkatan ekonomi suatu negara. Sehingga pajak merupakan alternatif yang sangat potensial sebagai sumber penerimaan negara.

Salah satu kewajiban pajak subyek pajak adalah Pajak Penghasilan. Pajak penghasilan merupakan pajak yang dibebankan pada
penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya. Pajak penghasilan bisa diberlakukan progresif, proporsional, atau regresif.

Pajak Penghasilan menjadi suatu kewajiban bagi setiap orang pribadi yang telah memiliki penghasilan. Dalam hal ini terdapat sejarah atau rentetan peristiwa pengenaaan pajak atas penghasilan.

Berdasarkan uraian di atas, penulis menjabarkannya dalam makalah ini yang berjudul “SEJARAH PERKEMBANGAN, PENGENAAN PAJAK ATAS PENGHASILAN, DAN LATAR BELAKANG PERUBAHAN UU PPH”

 

B.       Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut.

1.      Bagaimana sejarah perkembangan pajak atas penghasilan ?

2.    Bagaimana pengenaan pajak atas penghasilan sebelum adanya Pajak Penghasilan (PPh) ?

3.    Bagaimana latar belakang perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan ?

 

C.       Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.

1.    Untuk mengetahui sejarah perkembangan pajak atas penghasilan.

2.    Untuk mengetahui pengenaan pajak atas penghasilan sebelum adanya Pajak Penghasilan (PPh).

3.    Untuk mengetahui latar belakang perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan.


BAB II

PEMBAHASAN

 

A.      Sejarah Perkembangan Pajak Atas Penghasilan

Pajak Penghasilan atau biasa disebut PPh merupakan pajak yang dibebankan kepada seseorang atau invidu, perusahaan atau badan hukum, Pajak Penghasilan sebenarnya sudah ada sejak jaman Romawi Kuno. Ditandai dengan pemungutan pajak yang bernama tributum yang berjalan hingga tahun 167 sebelum masehi. Pajak penghasilan ini juga diberlakukan di Inggris sebagai Income Tax pada tahun 1799.

Sementara itu di Amerika, Pajak penghasilan pertama kali di kenalkan pada tahun 1643 di New Playmont, Undang undang pajak federal sendiri mulai diperkenalkan pada tahun 1861 yang kemudian beberapa kali mengalami tax reform. Berdasarkan Undang-undang pajak federal tax return atau surat pemberitahuan pajak penghasilan ini dibuat pada tahun 1860 dan telah dipergunakan pada tahun 1962.

Sejarah Pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya tenement tax ( huistaks ) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan.

Pada tahun 1908 terdapat perbedaan antara pajak terhadap penduduk pribumi dan pajak terhadap penduduk Eropa. Perlakuan terhadap orang pribumi diberi nama business tax dan Patent Duty untuk orang Eropa. Sebaliknya business tax atau bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882 hingga 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan tanah

Setelah itu terdapat Ordonansi Pajak pendapatan yang diperlakukan untuk orang orang Eropa, Dan badan Usaha bisnis tanpa memerhatikan kebangsaan pemilik sahamnya. Dasar pengenaan pajak ini adalah penghasilan dari barang yangbergerak dan barang yang tidak bergerak, pembayaran berkala, pendapatan pejabat pemerintah dan hasil usaha, Tarif yang diberlakukan pun bersifat proposional. Kemudian pada tahun 1920 menjadi tahun unifikasi dimana peraturan dualistik kemudian dihilangkan dan digantikan dengan general income tax yakni Ordonasi yang diterapkan diseluruh penduduk, baik warga pribumi, Eropa, Maupun Asia. Seiring dengan banyaknya perusahaan , timbul pula kebutuhan pajak pendapatan karyawan. Hingga akhirnya pada tahun 1935 mulai diterapkan Ordonasi Pajak Upah yang mewajibkan para majikan untuk memotong gaji pegawai sebagai pajak tarif berkisar 0% - 15%.

Pada zaman Perang Dunia II diberlakukan Oorlogsbelasting (Pajak perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd saja.

Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan “UU MPO dan MPS”. Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya reformasi pajak di Indonesia.

Sejarah Perkembangan Pajak Sejak Tax Reform 1983 sampai dengan sekarang.

v  Ketentuan Material dan Ketentuan Formal

Sejak reformasi perpajakan tahun 1983, Undang-Undang yang mengatur

ketentuan material tentang Pajak Penghasilan dipisahkan dengan Undang- Undang yang mengatur ketentuan formal.

1.    Ketentuan Material

Hukum pajak material mengatur ketentuan-ketentuan mengenai siapa saja yang dikenakan pajak, apa saja yang dikenakan pajak, dan berapa tarif pajaknya sehingga bisa dihitung besarnya pajak yang terutang. Dengan kata lain, hukum pajak material mengatur tentang subjek pajak, objek pajak, dan tarif pajak sehingga bisa dihitung besarnya pajak terutang. Sebagai sumber hukum dari ketentuan material Pajak Penghasilan adalah

v  Peraturan Perundang-undangan tentang Pajak Penghasilan

Secara hierarkis peraturan perundang-undangan terdiri dari :

a.       Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

b.      Peraturan Pemerintah

c.       Peraturan Presiden / Keputusan Presiden (sebelum tahun 2005)

d.      Peraturan Menteri Keuangan / Keputusan Menteri Keuangan (sebelum tahun 2005)

e.       Peraturan Direktur Jenderal Pajak / Keputusan Jenderal Pajak (sebelum tahun 2005)

Selain peraturan perundang-undangan di atas, Direktur Jenderal Pajak juga menerbitkan surat edaran dan surat yang berisi tentang petunjuk teknis tentang pemungutan pajak.

·      Tax treaty

Selain itu, pemerintah melakukan perjanjian perpajakan dengan pihak lain Untukpenghasilan yang berasal dari lintas negara (cross-border) selain berlaku Pajak Penghasilan ketentuan domestik di atas, juga berlaku Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Sampai saat ini Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan sudah mengalami perubahan sebanyak empat kali, yaitu :

ü Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tetang Pajak Penghasilan

ü Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

ü Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

ü Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

ü Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas

ü Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

 

Sehingga undang-undang yang mengatur Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tetang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Berikut sistematika undang-undang tersebut :

BAB I : KETENTUAN UMUM : Pasal 1

BAB II : SUBJEK PAJAK Pasal 2- Pasal 3

BAB III : OBJEK PAJAK Pasal 4 - Pasal 15

BAB IV : CARA MENGHITUNG PAJAK Pasal 16 - Pasal 19.

BAB V : PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN Ps 20 -Ps 27

BAB VI : KREDIT PAJAK, PELUNASAN KEKURANGAN PEMBAYARAN PAJAK, SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN DAN PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK Pasal 28 - Pasal 31

BAB VII : KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 32

BAB VIII : KETENTUAN PERALIHAN pasal 33 - Pasal 34

BAB IX : KETENTUAN PENUTUP Pasal 35 - Pasal 36

 

2.      Ketentuan Formal

Hukum pajak formal ialah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan mengenai tata cara agar pajak yang terutang menjadi kenyataan sehingga sampai masuk ke kas negara. Hukum pajak formal memuat ketentuan tentang tatacara, hak, dan kewajiban wajib pajak serta sanksi jika kewajiban tersebut tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Dengan kata lain, hukum pajak formal merupakan hukum acara.

Undang-undang yang mengatur ketentuan formal atas Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, beserta peraturan pelaksanaannya. Dalam peraturan tersebut diatur antara lain :

a.    Bagaimana cara mendaftarkan diri untuk diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak ?

b.    Bagaimana cara membayar pajak ?

c.    Bagaimana cara melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak?

d.    Sanksi-sanksi jika kewajiban tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Sampai saat ini Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sudah mengalami perubahan sebanyak empat kali, sehingga namanya menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009.

 

B.       Pengenaan Pajak Atas Penghasilan Sebelum Berlakunya Undang-Undang PPh

Peraturan perundang-undangan perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak yang berlaku hingga saat ini, secara historis tidak terlepas dari sistem pajak warisan jaman kolonial. Malah jika ditarik ke belakang lebih jauh, pemajakan itu sendiri telah menjadi bagian budaya sejak jaman kerajaan-kerajaan kuno. Prasasti Rukam pada dinasti Mataram Kuno (900M) misalnya, menceritakan bagaimana seorang raja menunjuk kepala daerah yang bertugas merawat dan memberi persembahan pada bangunan suci. Pejabat yang ditunjuk tersebut diberi juga kewenangan untuk menarik pajak penghasilan desa sebagai ongkos perawatan.

Contoh lain, pada jaman Sultan Agung, pajak telah digunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan keraton. Pada saat itu pajak tidak selalu berbentuk uang. Heri Priyatmoko, penulis buku Jejak Pajak Indonesia, dari Mataram Kuno Hingga Budi Oetomo, menyebutkan bahwa salah satu desa di Klaten memiliki kewajiban untuk menyerahkan beras untuk keperluan istana. Pajak pada masa kerajaan ini lebih sebagai upeti, tanda tunduk dan takluk pada penguasa.

Sistem pemajakan modern mulai dikenalkan pada jaman penjajahan Hindia Belanda. Daerah-daerah kerajaan di bawah penguasaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda wajib tunduk pada hukum yang berlaku di Hindia Belanda. Hukum yang dikenal dengan Staatsblad Van Nederlandsch – Indie. Dengan hukum itu, sejak tahun 1816 mulai dikenal istilah tenement tax atau huistax yakni sejenis pajak yang dikenakan untuk mereka yang menggunakan tanah dan bumi sebagai tempat berdirinya bangunan atau rumah. Pajak mulai diatur secara jelas -untuk ukuran saat itu. Aparat pajak dan institusi dibentuk termasuk hingga Majelis Banding Pajak. Meski demikian, sistem pajak pada zaman penjajahan ini secara subtantif tidak terlalu jauh berbeda coraknya dengan upeti pada jaman kerajaan-kerajaan kuno sebelum Indonesia ada. Pajak dibuat semata-mata hanya untuk menghimpun dana bagi Pemerintah penjajahan dalam rangka mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya di Hindia Belanda.

Oleh karenanya pemungutan pajak saat itu dirasakan oleh rakyat sebagai beban yang berat, sebab baik penetapan jumlah pajak, jenis pajak maupun tata cara pemungutan pajaknya dilaksanakan di luar rasa keadilan tanpa menghiraukan kemampuan serta menambah beban penderitaan dan jauh dari pertimbangan dan penghargaan kepada hak asasi rakyat. Pajak hanyalah merupakan kewajiban semata-mata yang harus dilaksanakan rakyat secara patuh.

Peraturan perundang-undangan perpajakan atas penghasilan sebelum berlakunya UU PPh yang dibuat pada zaman pemerintahan penjajahan Belanda antara lain :

ü  Pajak Penghasilan 1920

Sebelum tahun 1920, pengenaan pajak penghasilan di daerah Hindia Belanda diatur dengan berbagai macam ketentuan. Sebagai contoh adanya pajak pribumi dan non pribumi. Pajak pribumi ini masih terbagi lagi misalnya pajak untuk orang Jawa dan orang Madura. Sementara pajak non pribumi masih dibagi lagi menjadi pajak orang Asia dan pajak orang Eropa. Mulai tahun 1920, cara pemajakan yang berdasar kebangsaan tersebut dihapus. Pada cara pemajakan baru ini akhirnya dikenal asas unifikasi, yaitu pengenaan pajak yang tidak berdasarkan pada kebangsaan seseorang. Pajak Penghasilan 1920 berlaku bagi semua penduduk, pribumi maupun non pribumi. Sistem pajak juga berlaku bagi perorangan maupun badan usaha. Meski demikian tetap ada perbedaan tarif yang didasarkan pada domilisi wajib pajak.

Selain memperkenalkan asas unifikasi, sistem pajak penghasilan 1920 juga memperkenalkan worldwide income. Wajib pajak dalam negeri dikenakan pajak penghasilan untuk semua penghasilan, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri. Untuk wajib pajak luar negeri, pajak dikenakan atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia.

Pajak penghasilan dikenakan atas penghasilan neto. Untuk menentukan penghasilan kena pajak, digunakan metode ‘kira-kira’ atau taksiran jumlah penghasilan sebenarnya di tahun yang akan datang. Perkiraan dilakukan pada awal tahun (1 Januari).

Tarif pajak penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi bersifat progresif mulai dari 1% hingga 25%, sedang tarif pajak penghasilan untuk wajib pajak badan sebesar 6%.

 

ü  Pajak Perseroan 1925

Pajak Perseroan 1925 merupakan hasil kerja reformasi pajak yang dilakukan Panitia Pajak Perseroan Hindia Belanda. Reformasi pajak ini pada dasarnya melakukan beberapa perubahan atas ketentuan pajak penghasilan 1920. Beberapa hal yang diubah adalah perseroan dan badan-badan dikenakan pajak tersendiri dengan tarif proporsional sebesar 10% dengan kemungkinan diberikan ‘surtax’ setiap waktu dan pajak dikenakan atas laba neto usaha.

Ordonansi Pajak Perseroan ini sebagian besar telah mengadopsi prinsip-prinsip akuntansi modern seperti prinsip taat asas, adanya metode penyusutan dan penilaian aktiva. Ordonansi juga memperbaiki prinsip worldwide income dengan memberi batasan jumlah hari untuk tetap disebut wajib pajak dalam negeri. Ordonansi Pajak Perseoran berlaku hingga tahun 1983 dengan beberapa kali perubahan tarif. Perubahan yang masih sempat dipakai adalah pengenaan tarif progresif dari 20% menjadi 45%.

 

ü  Pajak Pendapatan 1932

Pajak Pendapatan 1932 pada dasarnya adalah hasil reformasi ketentuan perpajakan 1920 yang diberlakukan bagi wajib pajak orang pribadi. Pada saat reformasi pajak 1925 dilakukan, Panitia Reformasi Pajak menghasilkan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 yang diberlakukan untuk perseroan dan badan usaha. Namun untuk wajib pajak perseorangan masih ketinggalan sehingga wajib pajak perorangan tetap dikenai pajak dengan ketentuan pajak penghasilan 1920.

Pemberlakuan ketentuan pajak penghasilan yang baru bagi wajib perorangan ditandai dengan dikeluarkannya Ordonansi Pajak Pendapatan 1932. Tidak banyak perubahan perlakuan bagi wajib pajak perorangan dibanding dengan Pajak Penghasilan 1920. Pada Ordonansi ini diperkenalkan asas sumber, jangka waktu untuk disebut wajibb pajak dalam negeri dan batasan penghasilan tidak kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi.

 

ü  Pajak Upah 1935

Ordonansi Pajak Pendapatan 1932 berlaku bagi orang pribadi yang memperoleh penghasilan dari berbagai sumber. Pada tahun 1935 mulai diperkenalkan pajak yang dikenakan atas penghasilan orang pribadi sebagai karyawan. Ini merupakan cikal bakal witholding tax. Ketentuan pajaknya diatur dengan Ordonansi Pajak Upah 1932. Pengenaan pajak berdasarkan ordonansi ini penerima penghasilan dipungut pajak oleh pemberi kerja.

 

ü  Pajak Peralihan 1944

Setelah Indonesia merdeka, pajak-pajak tersebut tetap berlaku berdasarkan peraturan peralihan UUD 1945. Pada tahun 1949, Ordonansi Pajak Pendapatan 1932 diganti nama menjadi Pajak Perang 1944. Perubahan nama ini dilakukan oleh NICA (The Netherlands-Indies-Civil Administration) dan berlaku di daerah-daerah yang diduduki NICA. Pajak Perang kemudian diubah lagi menjadi Pajak Peralihan 1944. Pada dasarnya, Pajak Peralihan 1944 mengikuti Pajak Pendapatan 1932. Beberapa perubahan, atau lebih tepatnya penjelasan ditambahkan seperti pembagian sumber penghasilan menjadi empat macam yaitu penghasilan dari usaha dan pekerjaan, penghasilan dari barang bergerak, penghasilan dari barang tidak bergerak dan penghasilan dari pembayaran atas hak-hak.

Perubahan yang lain adalah pengenaan pajak tidak lagi di awal tahun melainkan di akhir tahun dengan cara diterbitkan surat ketetapan pajak sementara. Pengenaan pajak ini dihitung dengan membandingkan pajak tahun sebelumnya. Dari pajak tahun sebelumnya kemudian ditetapkan pajak untuk tahun berjalan secara sementara.

 

ü  Pajak Pendapatan 1944

    Pajak Pendapatan yang diberlakukan melalui Ordonansi tersebut diatas, berlaku sampai dengan 31 Desember 1983, adalah produk buatan Belanda yang dibuat di Australia.  Tugasnya menetapkan besarnya pajak terutang yang merupakan kontribusi masyarakat kepada negara dalam mengisi kas APBN, berada ditangan fiskus (petugas pajak), yang mencerminkan kurangnya partisipasi serta peran aktif masyarakat wp dalam menentukan besarnya beban pajak yang harus mereka pikul.

   Besarnya pajak terutang yang harus dibayar ditetapkan melalui suatu lembaga yang dinamakan Surat Ketetapan Pajak (SKP), yang untuk tahun berjalan disebut SKP Sementara, yang kemudian pada akhir tahun diterbitkan lagi SKP Rampung, dengan mengurangkan pajak terutangnya dari SKP Sementara.

      Subjek Pajaknya dibagi 2 (dua) yaitu :

1.   Subjek Pajak dalam negeri

2.   Subjek Pajak luar negeri

   Yang dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya terdapat perlakuan yang berbeda, antara lain bagi Subjek dalam negeri berlaku azas domisili, sedangkan bagi Subjek Pajak luar negeri berlaku azas sumber.  Objek (sasaran) pajak pada Pajak Pendapatan 1944, menganut pengertian sempit, dimana yang dikenakan pajak hanya pendapatan-pendapatan yang berasal dari 4 sumber pendapatan yaitu :

1.   Hasil dari usaha dan tenaga.

2.   Hasil dari harta bergerak.

3.   Hasil dari harta tak gerak,

4.   Hak atas bayaran berkala.

    Pengertian pendapatan selain berbentuk uang, juga bukan uang seperti natura dan/atau kenikmatan yang diterima atau diperoleh seseorang.  Tarif pajak yang berlaku ada 2 macam, yaitu :

§  Tarif umum, ada 19 lapisan tarif progresif, tarif marginal mulai dari 5% sampai dengan 50%.

§  Tarif khusus, yang berlaku bagi pendapatan tertentu sebesar 10%

 Pendapatan yang dikenakan pajak adalah Pendapatan Bersih, yaitu Pendapatan yang telah diurangi dengan Batas Pendapatan Bebas Pajak (BPBP). Besarnya BPBP setiap tahun ditentukan menurut Keputusan Menteri Keuangan.

Ketentuan Pajak Pendapatan 1944 lahir pada tahun 1957. Ketentuan ini merupakan peleburan dari ketentuan Pajak Bumi, Pajak Peralihan 1944, dan Pajak Upah 1935. Maka sejak 1957 berlaku dua Undang-undang pajak penghasilan yaitu Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan Ordonansi Pajak Pendapatan 1944.

Pada ketetentuan yang baru ini, sistem pembayaran pajak diubah yang semula ditetapkan menjadi mekanisme menghitung dan membayar pajak sendiri (MPS) dan memungut pajak orang lain (MPO). MPO merupakan perubahan mekanisme pembayaran atas Pajak Upah. MPS merupakan cikal bakal sistem self assesment yang berlaku hingga saat ini. Pada sistem MPS, wajib pajak melunasi pajaknya selama tahun berjalan dengan cara menghitung sendiri pajak terhutang dan melunasinya ke kas negara.

Dasar pengenaan MPS adalah penjualan bruto atau penerimaan bruto atau jumlah lain yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak. Tarif umum MPS sebesar 1%, sama dengan tarif pajak pada Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 yang berlaku saat ini. Perbedaannya, tarif MPS bukan merupakan tarif pajak final, artinya pembayaran pajaknya dapat diperhitungkan pada saat pelaporan pajak untuk seluruh tahun pajak. Di samping tarif umum, sistem MPS juga mengenakan tarif lain sesuai dengan jenis usaha wajib pajak.

Adapun sistem MPO menggunakan tarif sebesar 2% dari peredaran. Pemerintah menunjuk perusahaan dan kantorpemerintah sebagai wajib pungut MPO atas semua transaksi yang dilakukan. Pada ketentuan ini juga dikenalkan witholding tax atas deviden yang kemudian diperluas menjadi pajak atas bunga, deviden dan royalti (PBDR). PDBR yang dikenakan atas pembayaran bunga, deviden dan royalti keluar negeri, bersifat final.

Sistem MPS dan MPO menggunakan peredaran sebagai dasar pemungutan. Hal ini tidak sejalan dengan pajak penghasilan sebab pajak telah berubah menjadi pajak transaksi dengan sifat-sifat pajak tidak langsung. Pajak transaksi ini juga dikenal sebagai pajak peredaran.

Perubahan penting lainnya adalah mulai terlihat ketentuan pajak yang bersifat mengatur (regulerend). Berbagai macam tarif pajak untuk perseroan bermunculan dan Pajak Penghasilan 1944 menjadi pajak schedular, yaitu pajak yang dikenakan tergantung dengan jenis pendapatan yang diperoleh.

 

ü  Menghitung Pajak Sendiri (MPS), dan Menghitung Pajak Orang lain (MPO)

      Sistem ini diintrodusir melalui UU No. 8 Tahun 1967, juncto PP No. 11 Thn 1967. MPS-MPO merupakan tatacara (sistem) dari pelaksanaan pemenuhan Pajak Pendapatan, Pajak Perseroan, termasuk juga Pajak Kekayaan, dan bukan jenis pajak baru.  Dengan sistem ini WP diberi kepercayaan untuk Menghitung, Menyetor, serta Melaporkan kewajiban pajaknya sendiri, selama tahun berjalan, walaupun pada akhir tahun besarnya pajak terutang kembali ditetapkan oleh Fiskus secara jabatan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Rampung, sehingga dapat disebut sistem semi self-assessment.

      Di lain pihak system MPO, adalah Menghitung, Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Orang lain, apabila berhubungan dengan pihak yang ditunjuk oleh Kantor Pajak sebagai pemungut. Kepada yang kena pungut oleh pemungut diberikan bukti pungutan yang dapat digunakan oleh yang bersangkutan sebagai pengurang pajak terutang pada akhir tahun. Sistem MPS-MPO berjalan secara paralel selama tahun berjalan, dan sistem inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya sistem Self-Assessment pada saat sekarang.

   Kedua tatacara pembayaran dan pemotongan akan menjadi kredit pajak (pembayaran dimuka) pada akhir tahun pajak.  Ekses yang terjadi dari pelaksanaan sistem MPS-MPO dalam praktek, menjelmanya MPO menjadi jenis pajak tersendiri, ini terlihat dari laporan penerimaan pajak yang dipublikasikan Direktorat Jenderal Pajak di era tersebut, dengan mencantumkan besarnya penerimaan MPO setiap tahun, di samping penerimaan Pajak Pendapatan, PPs, dan Pajak Kekayaan, suatu hal menyimpang dari tujuan MPO sebagai salah satu sistem mengangsur pajak terutang selama tahun berjalan.

 

ü  Pajak atas Bunga, Deviden, dan Royalty (PBDR)-UU PBDR 1970.

    Latar belakang yang melahirkan PBDR, adalah bahwa berdasarkan Ordonansi PPd. 1944, dan Ordonansi PPs. 1925, tidak semua orang dan badan yang bertempat tinggal di luar Indonesia dapat dikenakan pajak walaupun mereka memperoleh/menerima pendapatan dari sumber-sumber yang berasal atau datang dari Indonesia, maka untuk menggali potensi pajak dari sumber-sumber tersebut, lahirlah Perpu No.12 Tahun 1959, yang mengatur pengenaan pajak atas deviden yang dibayarkan ke luar negeri dengan sistem withholding tax, yang kemudian lebih terkenal dengan nama Undang-Undang Pajak Deviden 1959.

    Dengan terbukanya perekonomian Indonesia terhadap pihak luar, maka banyak investor dari luar negeri yang melakukan kegiatan baik langsung maupun tidak langsung, membuka kegiatan/usaha/partispasi ke Indonesia sehingga pendapatan bukan hanya dalam bentuk Deviden tapi telah berkembang dalam bentuk lain seperti bunga, dan royalty. Oleh karena itu UU Pajak Deviden diperluas objeknya, dan diganti dengan Undang-Undang Pajak atas Bunga, Deviden, dan Royalti (UU No. 10 Tahun 1970).

    Bagi WP dalam negeri, pembayaran PBDR yang dilakukan melalui pemotongan tersebut, merupakan pembayaran pajak dimuka (cicilan) dari Pajak yang terutang pada akhir tahun melalui perhitungan SKP Rampung.  Bagi WP luar negeri pemotongan PBDR merupakan pembayaran pajak bersifat final.

 

C.       Latar Belakang Perubahan Undang-Undang PPh

Dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang, dipandang perlu untuk dilakukan perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan guna meningkatkan fungsi dan peranannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi.

Perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan dimaksud tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal, yaitu keadilan, kemudahan, dan efisiensi administrasi, serta peningkatan dan optimalisasi penerimaan negara dengan tetap mempertahankan sistem self assessment. Oleh karena itu, arah dan tujuan penyempurnaan Undang-Undang Pajak Penghasilan ini adalah sebagai berikut:

1.         Lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak

Dalam rangka meningkatkan keadilan pengenaan pajak maka dilakukan perluasan subjek dan objek pajak dalam hal-hal tertentu dan pembatasan pengecualian atau pembebasan pajak dalam hal lainnya.

2.         Lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak;

Dalam rangka meningkatkan daya saing dengan negera-negara lain, mengedepankan prinsip keadilan dan netralitas dalam penetapan tarif, dan memberikan dorongan bagi berkembangnya usaha-usaha kecil, struktur tarif pajak yang berlaku juga perlu diubah dan disederhanakan. Perubahan dan penyederhanaan struktur tarif ini meliputi penurunan tarif secara bertahap, terencana, pembedaan tarif, serta penyederhanaan lapisan yang dimaksudkan untuk memberikan beban pajak yang lebih proporsional bagi tiap-tiap golongan Wajib Pajak tersebut

3.         Lebih memberikan kesederhanaan administrasi perpajakan;

Untuk lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, sistem self assessment tetap dipertahankan dan diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan pada sistem pelaporan dan tata cara pembayaran pajak dalam tahun berjalan agar tidak mengganggu likuiditas Wajib Pajak dan lebih sesuai dengan perkiraan pajak yang akan terutang. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, kemudahan yang diberikan berupa peningkatan batas peredaran bruto untuk dapat menggunakan norma penghitungan penghasilan neto. Peningkatan batas peredaran bruto untuk menggunakan norma ini sejalan dengan realitas dunia usaha saat ini yang makin berkembang tanpa melupakan usaha dan pembinaan Wajib Pajak agar dapat melaksanakan pembukuan dengan tertib dan taat asas.

4.         Lebih memberikan kepastian hukum, konsistensi, dan transparansi; dan

5.          Lebih menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing dalam menarik investasi langsung di Indonesia.


BAB III

PENUTUP

 

A.      Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pajak Penghasilan atau biasa disebut PPh merupakan pajak yang dibebankan kepada seseorang atau invidu, perusahaan atau badan hukum. Sejarah Pajak Penghasilan telah dimulai sejak jaman Romawi Kuno hingga pada akhirnya menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia dengan serentetan perubahan-perubahan terhadap kebijakan pajak atas penghasilan.

B.       Saran

Penulis telah menjabarkan mengenai Pajak Penghasilan dalam makalah ini. Penulis memberikan rekomendasi kepada :

1.         Masyarakat

Kepada masyarakat, diharapkan menaati dan memenuhi kewajibannya  dalam membayar pajak, seperti Pajak Penghasilan (PPh).

2.    Pelajar

Kepada para pelajar, diharapkan dapat memperluas wawasannya mengenai pajak, seperti Pajak Penghasilan (PPh).

3.    Pembaca

Penulis menyadari akan adanya kekurangan dalam penulisan makalah ini, untuk itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat dibutuhkan.

 

 


DAFTAR PUSTAKA

 

Modul Pajak Penghasilan DTSD Pajak Revisi untuk Angkatan II (2014)

Staatsblad Van Nederlandsch – Indie.

Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Mansury, R., Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia, Bina Rena Pariwara, 1994.

Priyatmoko, Heri., Opini: KPK dan Sejarah Pajak, joglosemar.co

http://forumpajak.org/kilasan-sejarah-pajak-penghasilan-indonesia/

http://blogewisnu.blogspot.com/2013/03/riwayat-singkat-pengenaan-pajak.html?m=1

https://solusibisnis.co.id/sejarah-pajak-penghasilan-di-indonesia.html http://saifulrahman.lecture.ub.ac.id/2013/10/pajak-penghasilan/

http://masfalih.blogspot.com/2008/11/pokok-pokok-perubahan-uu-pph.html

 

 

 

No comments:

Post a Comment