WELCOME TO MY SIMPLE BLOG, MAY USEFUL FOR US

Saturday, August 21, 2021

Makalah Pendidikan Agama Islam "Pernikahan Dalam Islam"

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.  Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa lepas dari ketergantungan dengan orang lain. menurut Ibnu Khaldun, manusia itu (pasti) dilahirkan di tengah-tengah masyarakat, dan tidak mungkin hidup kecuali di ttengah-tengah mereka pula. Manusia memiliki naluri untuk hidup bersama dan melestarikan keturunannya. Ini diwujudkan dengan pernikahan. pernikahan yang menjadi anjuran Allah dan Rasul-Nya ini merupakan akad yang sangat kuat atau mitssawal ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Pernikahan dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggungjawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan. Dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sedangkan tujuan pernikahan adalah sebagaimana difirmankan Allah s.w.t. dalam surat Ar-Rum ayat 21 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah warahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berfikir”. Mawaddah warahmah adalah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia, ketika manusia melakukan pernikahan.

Pernikahan merupakan sunah nabi Muhammad saw. Sunnah diartikan secara singkat adalah, mencontoh tindak laku nabi Muhammad saw. Perkawinan diisyaratkan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridha Allah SWT, dan hal ini telah diisyaratkan dari sejak dahulu, dan sudah banyak sekali dijelaskan di dalam al-Qur’an:

 

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (QS. an-Nuur ayat 32).

Berdasarkan uraian di atas, penulis menjabarkannya dalam makalah ini yang berjudul “Pernikahan Dalam Islam”

B.  Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut.

1.    Bagaimana motivasi menikah dalam pandangan islam?

2.    Bagaimana persiapan-persiapan dalam pernikahan ?

3.    Bagaimana tata cara pernikahan islami ?

4.    Bagaimana mewujudkan pernikahan yang Samara (Sakinah, Mawaddah, dan Warahmah)

 

C.  Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.

  1. Untuk mengetahui motivasi menikah dalam islam.
  2. Untuk mengetahui persiapan-persiapan dalam pernikahan.
  3. Untuk mengetahui tata cara pernikahan islami.
  4. Untuk mengetahui bagaimana mewujudkan pernikahan yang samara (Sakinah, Mawaddah, dan Warahmah)


BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Motivasi Menikah dalam Islam

Islam sangat memperhatikan segala bentuk interaksi yang dilakukan dan terjadi di antara manusia. Semua bentuk interaksi manusia itulah yang akhirnya menyusun corak kehidupan manusia. Perhatian Islam terhadap segala bentuk interaksi tersebut adalah sama. Semua bentuk interaksi diberikan aturannya oleh Islam tanpa memandang bahwa satu bentuk interaksi lebih urgen dari yang lain. Satu hal yang mendasar bahwa Islam memandang semua interaksi tersebut sebagai satu kesatuan yang utuh dan saling berkaitan satu dengan yang lain. Aturan-aturan yang didatangkan oleh Islam untuk setiap bentuk interaksi bukanlah aturan yang terpisah, namun semua aturan itu saling terkait dan muncul dari dasar yang satu yang menjelma sebagai sistem kehidupan. Karena muncul dari dasar yang satu yaitu akidah Islam, menjadikan serangkaian aturan interaksi kehidupan–aturan sistem kehidupan–itu menjadi sistem kehidupan yang khas. Kekhasan ini menjadikan siapa saja yang menjalankannya, baik individu maupun masyarakat, akhirnya menjadi sosok individu atau masyarakat yang bercorak khas yang berbeda dengan individu atau masyarakat lain yang menggunakan aturan yang muncul dari dasar yang lain.

 

Oleh karena itu, masalah meminang sesungguhnya bagian dari sistem hidup. Tidak boleh difahami hanya sebatas meminang saja dan lepas dari masalah lainnya. Akan tetapi masalah meminang ini harus ditempatkan sebagai bagian dari aturan-aturan sistem interaksi dimana sistem interaksi itu sendiri merupakan bagian dari sistem hidup Islam secara keseluruhan.

 

Dalam meminang dengan paradigma di atas, maka setidaknya ada beberapa hal yang harus mendasari pinangan itu. Hal-hal itu adalah:

 

1)      Melandasinya dengan Akidah

Akidah Islam merupakan akidah yang bersifat akliyyah. Akidah akliyyah merupakan pemikiran yang menyeluruh mengenai alam, manusia dan kehidupan, yang memberi pemecahan terhadap ‘uqdah al-kubrâ, yakni berupa pertanyaan mengenai hakikat alam dan sistem keteraturannya, mengenai hakikat manusia dari sisi keberadaan dan tujuan hidupnya, tujuan dari keberadaannya di dunia, dan nasibnya setelah dunia.

Akidah Islam merupakan pemikiran yang menyeluruh tercermin dalam akidah Lâ ilâha illa-Llâh Muhammad Rasulullah yang membentuk asas pemikiran ideologi Islam. Secara ringkas, akidah Islam adalah bahwa di balik alam, manusia dan kehidupan ada pencipta yakni Allah yang menciptakan semuanya dari ketiadaan, dan bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah, dan bahwa Allah Sang Pencipta mengutus Rasul Muhammad dengan membawa sistem yang memuat solusi (berupa perintah-perintah dan larangan-larangan) bagi seluruh problem kehidupan manusia, dan bahwa hakikat keberadaan manusia adalah untuk mengelola kehidupan sesuai dengan sistem tersebut dan bahwa nanti akan ada kehidupan setelah dunia yakni kehidupan akhirat dan manusia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap pengelolaannya, apakah ia jalankan sesuai sistem yang diturunkan oleh Allah Sang Pencipta ataukah tidak, hasilnya akan menentukan apakah ia layak hidup di surga ataukah di neraka.

Pemikiran mendasar ini membawa konsekuensi bahwa setiap perbuatan manusia, besar atau kecil, tersembunyi atau terang-terangan, semuanya mesti dipertanggungjawabkan dihadapan Allah di akhirat kelak. Hasil pertanggungajawaban itu menentukan nasib manusia selanjutnya, apakah ia akan menikmati kenikmatan abadi atau akan ditimpa siksaan yang dahsyat. Setiap manusia harus mempertanggungjawabkan apakah ia mengikuti aturan (sistem) yang diberikan Allah atau tidak dalam menempuh hidupnya. Satu-satunya jawaban yang bisa diterima di hadapan Allah adalah bahwa manusia melakukan perbuatan sesuai dengan apa yang ia fahami dari seruan-seruan Allah kepada manusia, dan bahwa ia melakukan suatu perbuatan semata sebagai bentuk ketaatan kepadaNya, semata ikhlas karenaNya. Paradigma demikian harus dipegang dalam semua bentuk perbuatan, tidak terkecuali dalam meminang. Oleh karena itu, aktivitas meminang harus diletakkan dalam kerangka untuk mewujudkan ketaatan kepada Allah. Semangat ini harus dijadikan landasan dalam keseluruhan proses meminang.

Hal-hal yang dinilai tidak sejalan dengan semangat ini harus dijauhi dan dijauhkan dalam proses meminang.

 

2)      Manifestasi Kecintaan Kepada Rasul saw.

Kecintaan kita kepada Rasul saw. merupakan sebuah bukti keimanan. Kecintaan kepada beliau juga akan mendorong kita untuk mengambil dan mencontoh apa yang Beliau perbuat. Kita sangat ingin untuk diakui sebagai kelompok beliau dan kita juga sangat ingin diakui sebagai bagian dari orang-orang yang mencintai beliau.

Berkenaan dengan pernikahan, Rasulullah saw. pernah menyatakan :

 

         النِّكَاحُ سُنَّتِيْ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ

“Pernikahan itu adalah sunnahku (jalanku), dan barangsiapa yang tidak menyukai jalanku maka bukan termasuk golonganku.” (HR Ibnu Majah).

Kata Sunnah secara istilah fikih adalah hukum sunnah dimana pelakunya akan mendapat pahala dan yang meninggalkan tidak akan disiksa karenanya. Makna ini tidak bisa kita gunakan untuk memaknai kata sunnah dalam hadis di atas, karena adanya indikasi yang menghalangi pemaknaan dengan makna istilah fikih tersebut. Indikasi tersebut adalah disandarkannya kata sunnah dengan ya’ (يْ) nisbah yang menyatakan kepemilikan bagi orang pertama. Oleh karena itu kata sunnah dalam hadis di atas harus dimaknai dengan makna bahasanya yaitu “jalan”.

Rasulullah secara jelas menyatakan siapa saja yang tidak suka dengan jalan beliau maka tidak termasuk golongan beliau. Sementara sebelumnya Beliau menyatakan bahwa menikah adalah bagian dari jalan beliau. Maka barangsiapa yang tidak suka menikah sebagai bentuk ketidaksukaan terhadap jalan beliau, maka orang tersebut secara tegas tidak termasuk golongan beliau. Namun jika seseorang tidak menikah bukan karena tidak suka terhadap jalan Rasulullah saw., dan tidak menikah bukan karena hendak konsentrasi hanya untuk beribadah saja, maka hal itu tidak mengeluarkannya dari golongan beliau.

Jika menikah adalah bagian dari jalan beliau, sedangkan langkah paling awal untuk menikah adalah meminang (khitbah) maka pinangan haruslah disertai kesadaran bahwa hal itu dilakukan karena ingin menempuh jalan yang termasuk jalan Nabi saw. Dan karena pinangan dilakukan untuk menempuh jalan beliau, maka melakukan pinangan sesuai dengan contoh dan tuntutan yang Nabi berikan menjadi sebuah konsekuensi logis yang harus dilakukan.

 

3)      Mewujudkan tujuan penciptaan laki-laki dan perempuan

Allah Swt. telah menciptakan manusia dalam dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, bukanlah tanpa tujuan. Kepada dua jenis kelamin inilah Allah menyandarkan keberlangsungan jenis manusia. Keberlangsungan jenis manusia yang dikehendaki oleh Alah bukan hanya keberlangsungan ras manusia. Akan tetapi keberlangsungan jenis/ras manusia dengan segala atribut kemanusiaannya, termasuk seluruh kehormatannya sebagai manusia. Tujuan yang demikian hanya bisa dicapai dengan adanya ikatan perkawinan antara kedua jenis kelamin dalam suatu ikatan yang sah. Keberlangsungan spesies manusia ini, yakni bahwa spesies manusia masih tetap ada, bisa saja tercapai melalui hubungan antara kedua jenis kelamin tanpa ada ikatan perkawinan yang sah. Karena semata terjadinya hubungan seksual antara kedua jenis kelamin bisa melahirkan keturunan. Namun kelanjutan spesies manusia yang seperti itu tidak disertai dengan martabat kemanusiaan yaitu aspek-aspek kehidupan manusia yang membedakannya dengan cara hidup binatang. Oleh karenanya hubungan seksual tanpa atau di luar ikatan perkawinan yang sah tidak bisa memenuhi tujuan yang dicanangkan oleh Allah.

Allah menghendaki agar segala bentuk hubungan kelelakian dan keperempuanan (maskulinitas-feminitas) tidak bergeser dari tujuan mulia penciptaan kedua jenis kelamin tersebut. Tujuan mulia tersebut adalah untuk menjaga keberlanjutan dan keberlangsungan jenis manusia tanpa mengurangi atribut kehormatan manusia dan tanpa meninggalkan jati diri kemanusiaannya. Tujuan mulia itu hanya akan bisa terwujud dengan pernikahan yang sesuai dengan tuntunan yang diberikan oleh Allah Swt. Kemudian dari perkawinan itu lahir anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, yang nantinya akan meneruskan keberlangsungan dan keberlanjutan sejarah manusia. Allah Swt. berfirman :

 

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ

 

“Wahai manusia bertakwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu. Dan Allah menciptakan dari padanya isterinya dan dari keduanya memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kepada Allah yang dengan namaNya kalian saling meminta dan jagalah silaturrahmi”. (QS an-Nisâ’ [4] : 1)

Tujuan mulia ini harus disadari oleh mereka yang hendak melakukan proses menjalin ikatan. Tujuan mulia ini harus meresap ke dalam sanubari setiap muslim dan muslimah. Tujuan ini bukanlah sembarang tujuan, akan tetapi mempunyai nilai khusus karena yang mencanangkan tujuan itu adalah Allah yang Mahabijaksana sendiri. Kita sebenarnya mendapat kehormatan yang luar biasa karena Allah menjadikan kita sebagai pelaksana tujuan itu. Oleh karenanya, tujuan mulia ini harus selalu ditanamkan dalam sanubari. Bukan berarti bahwa dengan mengutamakan tujuan mulia ini, lantas mengabaikan kenikmatan duniawi. Bukan begitu! Justru dengan tetap berusaha mewujudkan tujuan itu, dengan sendirinya seluruh kenikmatan duniawi akan bisa terengkuh. Bahkan kenikmatan duniawi dan jasmani itu akan semakin berarti. Karena bukan semata kenikmatan jasmani, namun disertai oleh kenikmatan rohani dan maknawi yang didorong oleh sebuah ‘azzam untuk mewujudkan tujuan mulia yang dicanangkan oleh Allah. Kalau hanya kenikmatan duniawi dan jasmani semata yang menjadi landasan, maka perlu kita renungkan, toh kambing yang ada di kandang tak jauh dari rumah kita, interaksi mereka semata untuk kenikmatan jasmani sekalipun begitu kambing-kambing itu toh mampu menyediakan bahan makan hewani bagi kita dari keturunannya, memberikan manfaat besar bagi manusia. Mari kita renungkan kalau hanya kenikmatan jasmani semata yang mendorong seseorang untuk menjalin hubungan lawan jenis maka bandingkan dengan kambing di kandang tak jauh dari rumah kita itu.

Ditambah lagi, seharusnya kita merasakan kebanggaan karena dengan melakukan interaksi maskulinitas-feminitas dalam rangka mewujudkan tujuan di atas, kita telah menjadi aktor bagi berlangsungnya tujuan yang dicanangkan oleh Allah. Yang dengan itu jenis manusia dengan seluruh martabatnya tetap terjaga keberlangsungannya. Harus kita sadari, bahwa dengan itu sebenarnya kita telah turut andil melaksanakan kerja besar yang menyelamatkan ras manusia di saat banyak manusia justru berbuat sebaliknya.

Hubungan maskulinitas-feminitas harus dilaksanakan melalui sebuah perkawinan yang sah. Sehingga menghasilkan keturunan memang disyariatkan. Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa Rasulullah kelak pada hari akhirat akan membanggakan banyaknya jumlah umat Beliau kepada nabi-nabi yang lain. Anas ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda :

 

تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ وَ الْوَلُوْدَ فَاِنِّيْ مُكَاثِرٌ بِكُمْ اْلأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

 “Kawinilah oleh kalian wanita penyayang dan subur keturunannya, karena sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian dihadapan para nabi yang lain pada Hari Kiamat nanti.”

Hadis ini menyiratkan adanya dorongan untuk memperbanyak keturunan. Hal ini sejalan dengan tujuan penciptaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang telah dinyatakan di atas. Dengan demikian, meminang sebagai langkah awal menuju perkawinan sejak dari awal harus dilakukan dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut.

4. Mewujudkan Keluarga Sakinah Mawaddah dan Rahmah

Islam memberikan perhatian besar dalam masalah pembentukan keluarga sejak dari awal prosesnya. Kenapa Islam memberikan perhatian yang demikian besar untuk masalah ini? Hal itu karena Islam hendak mengawal dan memelihara pembentukan dan keberlangsungan pernikahan di atas asas yang kokoh, pondasi yang kuat untuk mencapai tujuan yang mulia yaitu kelestarian ras manusia, dan tercapainya kebahagian keluarga. Begitu juga Islam hendak mencegah dan menghilangkan retaknya keluarga dari dalam. Islam ingin memberikan perlindungan dan penjagaan atas ikatan pernikahan dari keretakan, perpecahan dan perselisihan. Dengan begitu anak-anak akan dapat tumbuh dalam suasana asuhan yang penuh kasih sayang, cinta, kelembutan, kebahagiaan, ketenteraman dari segenap sisi. Inilah yang tercermin dalam firman Allah Swt. :

 

وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

 

Dan dari sebagian tanda-tanda kekuasaanNya adalah bahwa Dia menciptakan bagi kalian isteri-isteri dari diri kalian agar kalian merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kalian cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada hal itu sungguh terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah Swt. bagi kaum yang berpikir. (QS ar-Rûm [30] : 21)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan, dalam ayat ini Allah Swt. menyatakan bahwa Allah Swt. telah menciptakan isteri-isteri bagi laki-laki yang berasal dari jenis yang sama, agar laki-laki akan merasakan ketenteraman tatkala bersanding dengan isterinya, begitu pula sebaliknya, isteri akan dapat merasakan ketenteraman di samping suaminya dan agar di antara mereka terbina mawaddah (rasa cinta) dan rahmah (kasih sayang).

Pada dasarnya, dalam sebuah ikatan pernikahan, suami maupun isteri itu harus dapat membuat masing-masing pihak merasa tenteram kepada pasangannya. Jadi, Allah Swt. menghendaki agar terwujud perasaan tenteram dalam pernikahan yang terjadi antara seorang perempuan dan laki-laki.

Lebih jauh, ketentuan asal mengenai keluarga adalah bahwa keluarga itu harus selalu dilingkupi oleh perasaan cinta dan kasih sayang. Anak-anak akan selalu dibesarkan dalam asuhan yang penuh cinta dan kasih sayang, selalu dihiasi dengan kelembutan hati, kepekaan jiwa serta keluhuran akhlak dan agama yang selamat.

 

5. Mewujudkan Generasi Islami

Meminang adalah awal proses membentuk keluarga. Banyak proses yang nantinya akan bisa terlaksana dalam pernikahan. Pernikahan akan bisa menjadi sarana dakwah, baik suami kepada isteri atau sebaliknya. Pernikahan juga menjadi jalan bagi semakin luasnya hubungan kekerabatan dan silaturahmi. Sehingga pada akhirnya, perkawinan akan menjadi sarana dakwah kepada keluarga dan kerabat yang lebih luas, juga bagi masyarakat.

Perkawinan sebagaimana telah dijelaskan di atas memang salah satunya ditujukan untuk memperoleh keturunan. Artinya, dari perkawinan itu akan lahir anak-anak. Rasululah saw. telah mengabarkan kepada kita bahwa kelak Beliau akan berbangga dengan banyaknya jumlah umat beliau. Hadis tersebut, selain mengisyaratkan dorongan untuk memperbanyak keturunan juga mengisyaratkan agar anak-anak yang lahir dari perkawinan harus dibentuk dan dididik sedemikian sehingga menjadi umat Muhamamad. Artinya, perkawinan telah dicanangkan sebagai sarana untuk memperbesar umat Islam, sekaligus memperbesar generasi Islam.

 

B.  Persiapan-persiapan dalam Pernikahan

Pernikahan atau yang dalam syariat Islam disebut dengan istilah nikah adalah salah satu azas dan kebutuhan dalam hidup bermasyarakat.

Islam memandang bahwa suatu pernikahan bukan hanya merupakan jalan yang mulia untuk berumah tangga dan memiliki keturunan, tetapi juga merupakan pintu perkenalan antar suatu suku bangsa atau masyarakat yang satu dengan suku atau bangsa masyarakat yang lainnya, sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam firman-Nya berikut ini.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS Al Hujurat : 13)

Dengan demikian, pernikahan merupakan suatu sunnatullah yang umum yang berlaku bagi manusia dan pernikahan adalah cara yang diberikan Allah SWT untuk melestarikan hidup umat manusia. Persiapan nikah adalah salah satu hal yang penting untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan dan mencakup beberapa aspek diantaranya adalah persiapan calon mempelai, persiapan hukum dan syariah serta persiapan anggaran yang dibutuhkan. Berikut adalah persiapan pernikahan dalam islam :

Persiapan Calon Mempelai

Calon mempelai adalah orang yang akan menikah atau dinikahkan dan sebelum acara pernikahan berlangsung tentunya calon mempelai harus sudah memiliki kesiapan. Kesiapan calon mempelai dapat dilihat dari beberapa segi, yakni sebagai berikut

v  Persiapan Fisik

Seorang calon mempelai yang akan menikah hendaknya telah siap fisik dan tubuhnya dengan kata lain, ia telah mencapai akil baligh dan telah siap memenuhi tugasnya sebagai seorang istri maupun sebagai seorang suami. Sebelum melangsungkan pernikahan sebaiknya periksa kesehatan tubuh terlebih dahulu terutama yang menyangkut masalah reproduksi karena salah satu tujuan pernikahan adalah nantinya pasangan akan memiliki keturunah. Oleh sebab itu, jika ada masalah pada fisik dan organ tubuh yang berkaitan dengan hal tersebut maka sebaiknya diatasi terlebih dahulu.

v  Persiapan mental

Calon mempelai semestinya sudah siap melangsungkan pernikahan dan telah menyadari bahwa ia akan menikah dan memiliki kehidupan yang baru. Agar tidak stress atau mengalami masalah setelah menikah maka sebaiknya mempelai mempersiapkan mentalnya agar ia mampu menerima segala tanggung jawab sebagai seorang suami maupun seorang istri. Memaksakan diri untuk menikah saat mental belum siap dapat menyebabkan munculnya masalah dikemudian hari.

Hal ini biasanya terjadi pada mereka yang menikah muda dan belum memiliki kesiapan mental untuk menjalani kehidupan berumah tangga. Jika sebelum menikah, seseorang bebas melakukan apa saja dan mengatur hidupnya, setelah menikah ia tidak hanya bertanggung jawab pada dirinya sendiri melainkan juga terhadap pasangannya.

v  Persiapan spiritual

Menikah tidak hanya suatu hal yang membutuhkan persiapan mental dan fisik saja melainkan dibutuhan juga kesiapan spiritual. Seseorang yang menikah hendaknya meminta petunjuk kepada Allah SWT dan mendekatkan diri pada-Nya agar pernikahan yang nantinya ia jalani adalah sesuai dengan syariah yang diberikan bagi umat islam. Inilah mengapa seseorang yang akan menikah juga dianjurkan untuk melakukan shalat istikharah dan rajin melaksanakan ibadah lainnya seperti berpuasa agar ia benar-benar merasa mantap untuk menikah.

v  Persiapan ekonomi

Pasangan yang akan menikah tentunya mesti memikirkan juga kehidupan mereka setelah menikah, oleh sebab itu sebaiknya sebelum melaksanakan pernikahan baik pria dan wanita telah memiliki kesiapan materiil terutama bagi pihak mempelai pria yang nantinya akan mencari nafkah bagi keluarganya.

Dengan demikian, sebelum menikah sebaiknya seseorang telah memiliki pekerjaan yang nantinya dapat mendukung kehidupan berumah tangga meskipun hal ini tidak menjadi suatu patojkan karena Allah sendiri berjanji akan menggabungkan rizki dan melimpahkannya bagi mereka yang akan menikah.

v  Persiapan sosial

Persiapan sosial yang dimaksud adalah segala hal yang menyangkut kedudukan seseorang di masyarakat, dalam hal ini seseorang yang akan menikah sebaiknya memeiliki hubungan yang baik dengan masyarakat terutama di tempat nantinya pasangan yang akan menikah itu tinggal. Pernikahan nantinya tidak hanya menyangkut mempelai saja melainkan juga melibatkan partisipasi masyarakat  disekitarnya.  


Persiapan Hukum dan Syariah

Selain persiapan calon mempelai, persiapan lain yang tidak kalah penting adalah persiapan pernikahan secara syariah dan hukum. Sebelum menikah, pasangan harus terlebih dahulu mengurus segala dokumen kenegaraan yang diperlukan untuk menikah dan mendaftarkannya di KUA atau kantor urusan agama. Selain itu, pasangan yang akan menikah juga harus mempersiapkan segala syarat dan rukun yang diperlukan pada saat pernikahan.

Adapun diantara syarat dan rukun yang harus ada dalam pernikahan adalah adanya wali dari pihak mempelai wanita dan saksi yang akan hadir dalam pernikahan. Segala sesuatu yang menyangkut hal tersebut harus dipersiapkan dengan baik karena apabila jika tidak terpenuhi maka status pernikahan seseorang tidaklah sah baik di mata agama maupun di mata hukum yang berlaku.

Persiapan Anggaran dan Materi

Persiapan yang harus diperhatikan selanjutnya adalah persiapan anggaran atau dana yang akan digunakan pada saat menikah. Meskipun hal ini tidaklah wajib atau tidaklah harus seseorang menggelar pesta yang meriah untuk pernikahannya, namun tetap saja dalam melangsungkan pernikahan, ada biaya yang harus dikeluarkan misalnya untuk kepengerusan dokumen, acara akad nikah, dan lain sebagainya.

Jika seseorang akan menggelar suatu pesta pernikahan yang nantinya akan mengundang masyarakat untuk menyaksikan pernikahannya maka ia harus mempertimbangkan segala sesuatunya dengan baik dan sebaiknya tidak berlebih-lebihan karena perbuatan tersebut tidak disukai Allah SWT.

C.  Tata-cara Pernikahan Islami

 

Pernikahan wajib hukumnya bagi orang-orang yang cukup matang secara usia dan mampu secara ekonominya. Pernikahan adalah prosesi sakral yang menyatukan dua orang asing menjadi sepasang suami istri yang sah dan juga sekaligus menyatukan dua keluarga beserta adat istiadatnya. Proses pernikahan dalam islam memiliki ketentuan-ketentuan tersendiri yang berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih.

Berikut ini adalah penjelasan mengenai tata cara pernikahan dalam islam yang penting untuk umat muslim ketahui :

1.      Khitbah (Peminangan)

Khitbah atau peminangan adalah proses meminta atau bisa disebut melamar yang dilakukan oleh keluarga laki-laki terhadap keluarga perempuan yang akan ia nikahi nanti. Hal ini dimaksudkan sebagai penegasan bahwa sang perempuan telah resmi menjadi calon istri dari seorang laki-laki yang artinya jika pinangan lelaki tersebut diterima oleh pihak keluarga perempuan maka perempuan tersebut tidak boleh dipinang atau menerima pinangan dari laki-laki lain, kecuali pinangan dari laki-laki pertama dibatalkan secara baik-baik dan telah diterima oleh kedua belah pihak keluarga. 

Sebuah hadis menjelaskan tentang hal ini dimana Umar radhiyallaahu ‘anhuma menceritakan bahwa: “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam proses khitbah sendiri pihak sang peminang (calon suami) disunahkan untuk melihat wajah wanita yang akan dipinang bahkan ia boleh melihat atau bertanya apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahi wanita itu, dengan catatan apa yang dilihat masih dalam batasan-batasannya sesuai dengan syariat Islam.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang diceritakan oleh Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma bahwa : “Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!” (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim).

Kemudian dalam hadis lain juga diceritakan tentang bagaimna Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallaahu ‘anhu yang meminang seorang wanita, kala itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan (cinta kasih) antara kalian berdua.” (at-Tirmidzi, an-Nasa-i, ad-Darimi dan lainnya)

Dalam perkara meminang seseorang, laki-laki shalih sangat dianjurkan untuk mencari wanita muslimah yang baik agamanya. Demikian pula dengan orangtua atau wali dari kaum wanita, mereka berkewajiban untuk mencari laki-laki shalih untuk dinikahkan dengan anak wanitanya tersebut.

Abu Hatim al-Muzani radhiyallaahu ‘anhu menceritakan bahwa:

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak kalian). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR at-Tirmidzi)

Kemudian orangtua atau wal dari seorang wanita juga diperbolehkan untuk menawarkan putri atau saudara perempuannya kepada laki-laki shalih untuk dijadikan seorang istri dengan cara yang halal.

Hal ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata:

“Bahwasanya tatkala Hafshah binti ‘Umar ditinggal mati oleh suaminya yang bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahmi, ia adalah salah seorang Shahabat Nabi yang meninggal di Madinah. ‘Umar bin al-Khaththab berkata, ‘Aku mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan untuk menawarkan Hafshah, maka ia berkata, ‘Akan aku pertimbangkan dahulu.’ Setelah beberapa hari kemudian ‘Utsman mendatangiku dan berkata, ‘Aku telah memutuskan untuk tidak menikah saat ini.’’ ‘Umar melanjutkan, ‘Kemudian aku menemui Abu Bakar ash-Shiddiq dan berkata, ‘Jika engkau mau, aku akan nikahkan Hafshah binti ‘Umar denganmu.’ Akan tetapi Abu Bakar diam dan tidak berkomentar apa pun. Saat itu aku lebih kecewa terhadap Abu Bakar daripada kepada ‘Utsman. Maka berlalulah beberapa hari hingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminangnya. Maka, aku nikahkan puteriku dengan Rasulullah. Kemudian Abu Bakar menemuiku dan berkata, ‘Apakah engkau marah kepadaku tatkala engkau menawarkan Hafshah, akan tetapi aku tidak berkomentar apa pun?’ ‘Umar men-jawab, ‘Ya.’ Abu Bakar berkata, ‘Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang menghalangiku untuk menerima tawaranmu, kecuali aku mengetahui bahwa Rasulullah telah menyebut-nyebutnya (Hafshah). Aku tidak ingin menyebarkan rahasia Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Jika beliau meninggalkannya, niscaya aku akan menerima tawaranmu.’” (HR al-Bukhari  dan an-Nasa-i)

2.      Shalat Istikharah

Setelah pihak laki-laki dan wanita telah saling melihat satu sama lain dalam proses khitbah atau peminangan, maka sebelum memberikan jawaban untuk menerima atau melanjutkan lamaran tersebut ke tahap selanjutnya sangat dianjurkan untuk melakukan shalat istikharah bagi keduanya memohon petunjuk kepada Allah subhana hua ta’ala.

Perihal anjuran dari shalat istikharah ini dikisahkan dalam hadis dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata:

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami shalat Istikharah untuk memutuskan segala sesuatu sebagaimana mengajari surat Al-Qur’an. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Apabila seseorang di antara kalian mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaknya melakukan shalat sunnah (Istikharah) dua raka’at, kemudian membaca do’a: Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan aku memohon kekuatan kepada-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan ke-Mahakuasaan-Mu. Aku mohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu yang Mahaagung, sungguh Engkau Mahakuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui dan Engkaulah yang Maha Mengetahui yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendaknya menyebut persoalannya) lebih baik dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya terhadap diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘..di dunia atau akhirat) takdirkan (tetapkan)lah untukku, mudahkanlah jalannya, kemudian berilah berkah atasnya. Akan tetapi, apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini membawa keburukan bagiku dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya kepada diriku ‘…di dunia atau akhirat’) maka singkirkanlah persoalan tersebut, dan jauhkanlah aku darinya, dan takdirkan (tetapkan)lah kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berikanlah keridhaan-Mu kepadaku.” (HR. al-Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah, Ahmad, al-Baihaqi)

Kemudian Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu juga mengisahkan bahwa:

“Tatkala masa ‘iddah Zainab  binti Jahsy sudah selesai, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Zaid, ‘Sampaikanlah kepadanya bahwa aku akan meminangnya.’ Zaid berkata, ‘Lalu aku pergi mendatangi Zainab lalu aku berkata, ‘Wahai Zainab, bergembiralah karena Rasulullah mengutusku bahwa beliau akan meminangmu. Zainab berkata, ‘Aku tidak akan melakukan sesuatu hingga aku meminta pilihan yang baik kepada Allah.’ Lalu Zainab pergi ke masjidnya. Lalu turunlah ayat Al-Qur’an Qs. Al-Ahzaab:37 dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan langsung masuk menemuinya.” (HR Muslim dan an-Nasa-i)

3.      Aqad Nikah

Jika prosesi khitbah telah mendapatkan jawaban maka langkah selanjutnya adalah akad nikah yakni prosesi tersakral dan terinti yang membuat sepasang manusia yang tadinya asing menjadi satu, menjadi sah dalam ikatan pernikahan yang halal dimana mempelai pria akan mengucapkan ijab qabul terhadap wali dari mempelai wanita dan akan ditentukan dengan pengesahan dari seluruh saksi serta diakhiri dengan doa ataupun makan-makan bersama sebagai bentuk syukur atas keberhasilan aqad nikah. Sebelum prosesi akad tentunya perlu diadakan rapat atau musyawarah kedua belah pihak keluarga untuk mempersiapkan dan menyesuaikan adat dan teknis dari aqad nikah.

4.      Walimah

Walimatul ‘urus adalah sebuah resepsi atau pesta pernikahan yang dilakukan sebagai bentuk syukur dan berbagi kebahagiaan dengan mengundang saudara dan teman lainnya. Meskipun begitu cara dan kemewahan dari resepsi ini disesuaikan dengan kemampuan keluarga dari kedua mempelai.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

”Selenggarakanlah walimah meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, Ahmad, ath-Thayalisi dan lainnya)

5.      Malam Pertama / Bersenggama

Setelah sah menjadi sepasang suami istri maka diwajibkan bagi mereka untuk melakukan hubungan suami istri dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam agama Islam.

 

D.  Mewujudkan Pernikahan Samara

Keluarga adalah komponen masyarakat yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Atau bisa juga suami dan istri saja (sekiranya pasangan masih belum mmpunyai anak baik anak kandung atau anak angakat). Keluarga dapat diartikan juga sebagai kelompok paling kcil dalam masyarakat, sekurang kurangnya dianggotai oleh suami dan istri atau ibu bapak dan anak. Ia adalah asas pembentukan sebuah masyarakat kebahagiaan masyarakat adalah bergantung setiap keluarga yang menganggotai masyarakat.

Sakinah

Dalam bahasa Arab, kata sakinah di dalamnya terkandung arti tenang, terhormat, aman, merasa dilindungi, penuh kasih sayang, mantap dan memperoleh pembelaan. Namun, penggunaan nama sakinah itu diambil dari penggalan al Qur’an surat 30:21 “Litaskunu ilaiha” yang artinya bahwa Allah SWT telah menciptakan perjodohan bagi manusia agar yang satu merasa tenteram terhadap yang lain.Jadi keluarga sakinah itu adalah keluarga yang semua anggota keluarganya merasakan cinta kasih, keamanan, ketentraman, perlindungan, bahagia, keberkahan, terhormat, dihargai, dipercaya dan dirahmati oleh Allah SWT.

Mawaddah

Mawaddah adalah jenis cinta membara, yang menggebu-gebu kasih sayang pada lawan jenisnya (bisa dikatakan mawaddah ini adalah cinta yang didorong oleh kekuatan nafsu seseorang pada lawan jenisnya). Karena itu, Setiap mahluk Allah kiranya diberikan sifat ini, mulai dari hewan sampai manusia. Mawaddah cinta yang lebih condong pada material seperti cinta karena kecantikan, ketampanan, bodi yang menggoda, cinta pada harta benda, dan lain sebagainya. Mawaddah itu sinonimnya adalah mahabbah yang artinya cinta dan kasih sayang.

Warahmah

Wa artinya dan sedangkan Rahmah (dari Allah SWT) yang berarti ampunan, anugerah, karunia, rahmat, belas kasih, rejeki. (lihat : Kamus Arab, kitab ta’riifat, Hisnul Muslim (Perisai Muslim) Jadi, Rahmah adalah jenis cinta kasih sayang yang lembut, siap berkorban untuk menafkahi dan melayani dan siap melindungi kepada yang dicintai. Rahmah lebih condong pada sifat qolbiyah atau suasana batin yang terimplementasikan pada wujud kasih sayang, seperti cinta tulus, kasih sayang, rasa memiliki, membantu, menghargai, rasa rela berkorban, yang terpancar dari cahaya iman. Sifat rahmah ini akan muncul manakala niatan pertama saat melangsungkan pernikahan adalah karena mengikuti perintah Allah dan sunnah Rasulullah serta bertujuan hanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT.

Untuk mewujudkan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah perlu melalui proses yang panjang dan pengorbanan yang besar, di antaranya:

1)      Pilih pasangan yang shaleh atau shalehah yang taat menjalankan perintah Allah dan sunnah Rasulullah SWT.

2)      Pilihlah pasangan dengan mengutamakan keimanan dan ketaqwaannya dari pada kecantikannya, kekayaannya, kedudukannya.

3)      Pilihlah pasangan keturunan keluarga yang terjaga kehormatan dan nasabnya.

4)      Niatkan saat menikah untuk beribadah kepada Allah SWT dan untuk menghidari hubungan yang dilaran Allah SWT

5)      Suami berusaha menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami dengan dorongan iman, cinta, dan ibadah. Seperti memberi nafkah, memberi keamanan, memberikan didikan islami pada anak istrinya, memberikan sandang pangan, papan yang halal, menjadi pemimpin keluarga yang mampu mengajak anggota keluaganya menuju ridha Allah dan surga -Nya serta dapat menyelamatkan anggota keluarganya dario siksa api neraka.

6)      Istri berusaha menjalankan kewajibann ya sebagai istri dengan dorongan ibadah dan berharap ridha Allah semata. Seperti melayani suami, mendidik putra-putrinya tentan agama islam dan ilmu pengetahuan, mendidik mereka dengan akhlak yang mulia, menjaga kehormatan keluarga, memelihara harta suaminya, dan membahagiakan suaminya.

7)      Suami istri saling mengenali kekurangan dan kelebihan pasangannya, saling menghargai, merasa saling membutuhkan dan melengkapi, menghormati, mencintai, saling mempercai kesetiaan masing-masing, saling keterbukaan dengan merajut komunikasi yang intens.

8)      Berkomitmen menempuh perjalanan rumah tangga untuk selalu bersama dalam mengarungi badai dan gelombang kehidupan.

9)      Suami mengajak anak dan istrinya untuk shalat berjamaah atau ibadah bersama-sama, seperti suami mengajak anak istrinya bersedekah pada fakir miskin, dengan tujuan suami mendidik anaknya agar gemar bersedekah, mendidik istrinya agar lebih banyak bersukur kepada Allah SWT, berzikir bersama-sama, mengajak anak istri membaca al-qur’an, berziarah qubur, menuntut ilmu bersama, bertamasya untuk melihat keagungan ciptaan Allah SWT. Dan lain-lain.

10)  Suami istri selalu meomoh kepada Allah agar diberikan keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah.

11)  Suami secara berkala mengajak istri dan anaknya melakukan instropeksi diri untuk melakukan perbaikan dimasa yang akan datang. Misalkan, suami istri, dan anak-anaknya saling meminta maaf pada anggota keluarga itu pada setiap hari kamis malam jum’at. Tujuannya hubungan masing-masing keluarga menjadi harmonis, terbuka, plong, tanpa beban kesalahan pada pasangannnya, dan untuk menjaga kesetiaan masing-masing anggota keluarga.

12)  Saat menghadapi musibah dan kesusahan, selalu mengadakan musyawarah keluarga. Dan ketika terjadi perselisihan, maka anggota keluarga cepat-cepat memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan nafsu amarahnya.

13)  Berusaha menjaga nilai-nilai romantis di antara keluarga. Misalnya, suami menyuapi istri, memanggil istri dengan panggilan yang istrinya menjadi senan (sayang, dinda, dll), mengajak istri berlomba, makan bersama, dan lain-lainya.

14)  Jika suami melihat sisi buruk sang istri, maka hendaknya suami bergegas mengingat sisi kebaikan sang istri. Sebaliknya jika sang istri melihat sisi buruk sang suami, maka sang istri cepat-cepat meliha sisi kebaikan sang suami.

15)  Hendaknya suami istri menyisihkan waktu untuk saling introspeksi diri atas kekurangan dan prilaku yang kerap kali menyinggun pasangannya. Terutama setelah habis sholat malam. dilakukan tukar pendapat. dengan kita kontinyu melakukan upaya ini, maka insyaalloh keutuhan dan keharmonisan keluarga dapat terwujud menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rohmah.

16)  Hendaknya satu keluarga memiliki visi misi kedepan yang akan digapai bersama. Misalnya, saling bahu membahu untuk bisa menunaikan ibadah haji, anak-anaknya bisa menghafal al-qur’an, dll.

17)  Hendaknya satu keluarga selalu belajar untuk memperdalam agama, baik mengikuti majlis majlis ilmu, majlis dzikir, ayau mendatang ustadz di rumahnya. Sebab dengan ilmu agama keluarga akan lebih teratur dan memiliki tujuan dunia dan akhirat.

18)  Hendaknya sanga suami mengajak anak dan istrinya untuk selalu menghidupkan 7 sunnah Rasulullah saw, yaitu sholat malam, banyak beristighfar, tekun bersedekah, sholat dhuha, kontinyu dalam keadaan suci (terus berwudhu),  membaca al-qur’an, puasa sunnah.

19)  Mengajak keluarga untuk mencintai Allah dan rasul-Nya diatas segala-galanya.

20)  Suami membekali keluarganya dengan ilmu-ilmu syar’i dan ilmu-ilmu dunia.

21)  Suami selalu mengucapkan :”Terima kasih sayang telah membuat minuman buat ma”. selalu memuji pekerjaan dan pengabdian istri. dan sebaliknya, istri selalu mengucapkan terima kasih terhadap pemberian sang suami. dengan saling berterima kasih ini, maka rasa saling membutuhkan, saling menghargai, saling membantu, saling mencintai, tolong menolong dengan sendirinya akan tumbuh subur. Wallahu A’lam

 

Memiliki Keluarga yang Sakinah

Bagaimana caranya membina keluarga yang sakinah, mawadah dan warohmah? Hal itu sangat mungkin jika orang yang berumah tangga menerapkan beberapa Cara Membina Keluarga Sakinah berikut ini :

1.      Memilih pasangan dengan kriteria yang tepat

Untuk memastikan kita bisa membangun keluarga yang sakinah maka kita harus bisa menentukan kriteria pasangan yang dicari dengan tepat. Tanpa pemilihan pasangan yang cermat, akan sulit mencapai kondisi rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warohmah. Oleh karena itu tentukan dulu pasangan seperti apa yang dibutuhkan untuk membina keluarga yang sakinah, dan carilah kriteria tersebut pada calon pasangan yang ada.

2.      Memenuhi syarat utama dalam berumah tangga

Syarat utama lainnya dalam berumah tangga adalah Mawaddah yaitu artinya ‘Cinta yang menggebu’  dan Rahmah yang artinya siap berkorban kepada yang dikasihi dan memiliki kasih sayang yang lembut. Ketika kedua syarat ini terpenuhi maka untuk menuju rumah tangga yang sakinah tidak akan menjadi begitu sulit, karena keduanya sudah menjadi landasan terbentuknya satu rumah tangga.

3.      Memelihara saling pengertian

Sebuah perkawinan tidak akan berjalan dengan baik jika tidak ada saling pengertian antar suami istri. Tumbuhkanlah rasa itu baik – baik. Kedua pihak harus dapat mencari cara menghilangkan sifat egois dan cara menghilangkan sifat sombong agar dapat saling memahami dan mengerti satu sama lain. Saling mengerti dapat menghindarkan suami istri dari pertengkaran hebat yang akan merusak rumah tangga.

4.      Landasi rumah tangga dengan ajaran agama

Tentu saja cara membina rumah tangga sakinah dan cara membina rumah tangga yang baik adalah dengan melandasinya dengan ajaran agama Islam. Suami harus bertindak sebagai pembimbing istri serta anak – anaknya, dan membawa keluarganya dalam ajaran agama yang benar. Ikutilah ajaran Al Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai panduan dalam menjalani rumah tangga.

5.      Mengisi rumah tangga dengan kasih sayang

Sebuah rumah tangga tanpa  cinta dan kasih sayang akan membuat sengsara orang – orang yang ada di dalamnya. Anak – anak butuh dipeluk orang tuanya dan pasangan hidup butuh untuk didampingi dan menjadi batu sandaran dalam keadaan sulit.

Karena itulah usahakan untuk selalu memenuhi rumah tangga dengan suasana yang penuh kasih sayang dan cinta. Selalu utamakan untuk mengatasi setiap persoalan dengan kasih sayang dan pikiran yang rasional, jangan menggunakan kekerasan atau emosi. Cintailah setiap anggota keluarga dengan sepenuh hati, maka rumah tangga akan selalu penuh dengan kasih sayang.

6.      Tidak lupa bersyukur

Untuk mendapatkan keluarga sakinah mawaddah warahmah itu akan terjadi jika suami dan istri tidak lupa bersyukur untuk beberapa hal kecil lainnya setiap mereka berdoa kepada Allah. Yakinlah bahwa semua ujian dalam rumah tangga akan membuat kita lebih kuat dan beriman. Selaluu bersyukur terhadap berbagai hal akan menjadi cara menjaga kesehatan hatidan cara menghindari perilaku tercela yang bisa muncul dalam diri suami dan istri.

 

7.      Menjalankan kewajiban masing – masing dengan baik

Cara menjaga rumah tangga dengan baik adalah menggunakan tips menjaga keharmonisan rumah tangga yaitu suami atau istri seharusnya sudah mengetahui bagaimana kewajiban masing – masing. Dengan adanya kesadaran untuk menjalankan perannya dalam keluarga dan kegiatan lainnya maka kondisi rumah tangga perlahan akan menguat ikatannya. Rumah tangga akan berjalan dengan baik dan berfungsi penuh ketika suami dan istri saling menyadari kewajiban dan perannya masing – masing. Juga tidak lupa untuk saling mendukung masing – masing agar mendapatkan haknya selain kewajiban saja.

8.      Saling menghargai  

Adanya rasa untuk mengetahui cara menghargai orang lain benar – benar akan menjadi landasan yang kokoh pada cara membina rumah tangga. Dengan adanya rasa saling menghargai maka suami dan istri akan tahu bagaimana perasaan masing – masing terhadap sesuatu hal tanpa perlu dipaksa untuk mengungkapkannya. Mereka juga akan lebih mudah mengembangkan rasa empati dan toleransi terhadap satu sama lain.

9.      Menerima kekurangan dan kelebihan masing – masing

Kelebihan seseorang biasanya menjadi pelengkap kekurangannya. Ketika memutuskan untuk menikah seharusnya kita sudah siap untuk menerima kekurangan pasangan masing – masing. Perlunya kebiasaan saling mengintrospeksi diri dan terus mencari cara merubah sifat serta cara menjadi pribadi yang baik sangat penting agar kekurangan suami dan istri dapat diterima oleh satu sama lain dan tidak menjadi masalah besar dalam sebuah pernikahan.

 

10.  Memelihara kepercayaan terhadap pasangan

Cara menghilangkan rasa curiga terhadap pasangan sangat diperlukan dalam membina rumah tangga yang sakinah. Suami dan istri tidak bisa rukun bila salah satu selalu curiga terhadap yang lainnya. Untuk itu diperlukan sikap yang menunjukkan bahwa masing – masing dapaat dipercaya oleh pasangannya. Misalnya selalu memberi kabar ketika sedang berkegiatan, mengirim sms, memberi tahu kegiatan masing – masing untuk sehari – hari, dan banyak lagi.

11.  Setia

Sangat penting untuk menjadi pasangan yang setia tentunya. Rumah tangga yang sakinah tidak akan terwujud jika salah satu pihak atau keduanya tidak dapat bersikap setia kepada yang lain. Bersikap setia bisa dimulai dengan cara menjaga pandangan mata terhadap lawan jenis yang ditemui sehari = hari, misalnya di tempat kerja. Dengan begitu godaan untuk melirik lawan jenis selain pasangan dapat diminimalkan.

Pada intinya, cara membina keluarga sakinah akan terletak pada bagaimana suami dan istri menerapkan nilai – nilai agama dalam rumah tangganya. Jika keduanya sepakat untuk menerapkan nilai Islami sebagai pedoman dan tuntunan dalam berumah tangga, maka tujuan untuk mendapatkan rumah tangga yang sakinah akan tercapai. Jika sebuah rumah tangga berhasil berjalan dengan sakinah, mawaddah dan warohmah, hal itu akan memberikan kebaikan bagi semua orang yang terlibat di dalamnya.

 


 

BAB III

PENUTUP

 

A.      Kesimpulan

Pernikahan adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan diri antara satu dengan yang lain untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera.

Pernikahan bertujuan untuk menjaga diri dari perbuatan zina, memelihara keturunan, dapat menyalurkan naluri seksual dengan halal dan terpuji, memelihara dan memperbanyak keturunan secara terhormat, naluri keibuan dan kebapakan akan akan saling melengkapi dalam kehidupan berumah tangga bersama anak-anaknya, melatih kemampuan bekerja sama, serta terbentuknya tali kekeluargaan dan silaturahmi antar keluarga.

Di dalam agama Islam, hukum pernikahan dilandaskan terhadap keadaan yang di alami seseorang. Ada yang hukumnya wajib, sunnah, mubah, makruh bahkan haram.

Hikmah dari pernikahan itu sendiri adalah sebagai wadah birahi manusia secara halal, meneguhkan akhlaq terpuji, membangun rumah tangga islami, memotivasi semangat ibadah, serta melahirkan keturunan yang baik dan terhormat.

B.       Saran

Dengan adanya pernikahan diharapkan dapat membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah, dunia dan akhirat. Pernikahan menjadi wadah bagi pendidikan dan pembentukan manusia baru yang kedepannya diharapkan mempunyai kehidupan dan masa depan yang lebih baik. Dengan adanya kepala keluarga yang memimpin bahtera rumah tangga , kehidupan diharapkan menjadi lebih bermakna, dan suami-suami dan istri-istri akhir zaman ini memiliki semangat yang tinggi di jalan Allah SWT. Aamiin.


 

DAFTAR PUSTAKA

 

http://princessakemi21.blogspot.com/2015/11/pernikahan-dalam-islam.html

http://islammakalah.blogspot.com/p/blog-page_27.html

http://suhendraaw.blogspot.com/2015/05/makalah-pernikahan-dalam-islam.html

https://khotbahjumat.com/2783-motivasi-agar-segera-menikah-dan-mempermudah-pernikahan.html

https://yenizeska.wordpress.com/2015/01/08/makalah-keluarga-samara-sakinah-mawaddah-warahmah/

http://keluargasnh.blogspot.com/2017/02/12-cara-mewujudkan-keluarga-sakinah.html

https://annajib.wordpress.com/2010/04/10/keluarga-sakinah-mawaddah-wa-rahmah/

https://cintalia.com/cinta/pernikahan/cara-membina-keluarga-sakinah

 

No comments:

Post a Comment