WELCOME TO MY SIMPLE BLOG, MAY USEFUL FOR US

Saturday, August 21, 2021

Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan

 A. Sejarah Pajak Atas Tanah di Indonesia

Pajak bumi merupakan pungutan yang dikenal sejak manusia hidup dengan penguasa. Perkembangannya di Indonesia tidak terlepas dari perjalanan sejarah politik. Pajak atas Tanah sudah dikenakan kepada masyarakat  Indonesia sejak masa sebelum kemerdekaan. Berdasarkan kronologisnya, sejarah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terbagi dalam tiga zaman yaitu Zaman Kerajaan, Zaman Penjajahan, dan Zaman Kemerdekaan.

 

1.    Zaman Kerajaan

Pemungutan pajak atas tanah telah dimulai pada masa berdirinya kerajaan-kerajaan di nusantara antara lain : Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, dan Kerajaan Mataram Hindu.

·      Zaman Indonesia-Hindu (Abad ke V-XVI)

Kerajaan-kerajaan Indonesia Hindu lahir sekitar abad ke-5. Raja yang menurut hukum hindu bukan merupakan pemilik mutlak atas tanah kerajaannya, memungut pajak atas tanah dengan nama “drwyahaji” yang berarti bagian panen milik raja dengan obyek pajak berupa sawah dan tanah-tanah lain yang menghasilkan. Prasasti Kmewu (Blitar 907 M) menunjukkan bahwa “drwyahaji”  ditetapkan berdasarkan luas tanah yang diukur cermat oleh petugas kerajaan dan besarnya ketetapan pajak per desa dimuat dalam suatu piagam permanen (prasasti).

 

·      Zaman Kerajaan Islam (Abad ke-XVII)

Kerajaan Mataram II menggaduhkan tanah garapan kepada para petani dan ketentuan yang disebut dengan “maro” dan “mertelu” yaitu dengan menarik setengah atau sepertiga bagian dari hasil panen sebagai pungutan periodik atau “pasukan adjeg” yang kemudian diberi nama “padjeg”. Pemungutan pajak di Kerajaan Aceh disebut dengan Wase Tanah, artinya pungutan terhadap akte tanah. Pemungutan di Kerajaan Banjar disebut “jawian” (Pemungutan 10 % dari hasil panen), Kerajaan Ternate memungut 10 % dari harga jual hasil bumi//hutan, dan Beberapa Kerajaan di Sulawesi Selatan memungut 10 % dari hasil panen padi.

 

Pada masa itu kerajaan-kerajaan tersebut akan mengambil upeti dari para penguasa wilayah (Adipati) yang masih dalam lingkup wilayah kekuasaan Kerajaan Dasar pembebanan “pajeg bumi”. “Pajeg bumi” merupakan konsep hak pemilikan raja atas tanah.

Pada awalnya pajak merupakan sebuah upeti atau pemberian secara cuma-cuma. Bentuknya berupa padi, ternak, atau hasl tanaman lain, misalnya kelapa, pisang, dan lain-lain. Namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus dilaksanakan oleh rakyat kepada raja atau penguasa.

Dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi juga sudah mengarah kepada kepentingan rakyat itu sendiri. Artinya telah digunakan untuk kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan rakyat, memelihara jalan, pembangunan saluran air, membangun sarana sosial lainnya, serta kepentingan umum lainnya.

 

2.    Zaman Penjajahan

a.       Tahun 1685- 1811

Pajak tanah mulai diberlakukan wilayah Jakarta dengan tarif sebesar 0,25 % dari harga tanah yang berlaku untuk jangka waktu tiga tahun.

 

b.      Tahun 1811-1816 (Pendudukan Inggris)

Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Kerajaan Inggris di Indonesia menetapkan tarif pajak yang bervariasi antara 20 % sampai 50 % dari produksi pertanian, tergantung jenis hasil bumi yang dapat dibayar dalam bentuk uang maupun berbagai hasil bumi. Awal abad 19 (tahun 1811 – 1816) mulai dikenal adanya ’Landrent’ dengan ketentuan:

·      Semua tanah milik pemerintah

·      Rakyat membayar sewa (rent) kepada Pemerintah

·      Biaya sewa dibebankan kepada desa, dan besarnya berkisar antara ¼  s.d ½  % hasil bumi

c.       Tahun 1872-1923 (Pendudukan Belanda)

Kerajaan Belanda melanjutkan kebijakan pajak tanah yang disebut Landrente dengan memunculkan gagasan sistem kultuurstelsel (tanam paksa), rakyat tidak dipungut uang, melainkan kewajiban menanami 20 % tanah garapan dengan tanaman wajib dan menyerahkan hasil tanaman yang dimaksud melalui organisasi desa. Jenis-jenis tanaman yang wajib ditanam, yaitu tebu, nila, teh, tembakau, kayumanis, kapas, merica (lada), dan kopi

 

d.      Tahun 1923-1942 (Pendudukan Belanda)

Pada tahun 1928, pemerintah kolonial Belanda menerapkannya untuk seluruh orang Indonesia yang memiliki tanah (Urban Land), dimana merupakan tanah adat yang tunduk pada hukum barat. Yang menjadi obyek pajak adalah tanah milik adat, sehingga pada waktu itu tanah dibedakan menjadi tanah milik adat dan tanah hak barat sehingga  dikenal adanya Verponding dan Verponding Indonesia.

Sistem pajak yang berlaku adalah:

§   Hasil bersih penahun

§   Klasifikasi tanah

§   Persentase pajak

§   Dikenakan per bidang tanah

 

e.       Tahun 1942-1945 (Pendudukan Jepang)

Di masa penjajahan Jepang tahun 1942 sampai dengan tahun 1945, sistem pajak tanah yang dilaksanakan Belanda diambil alih sepenuhnya dan namanya diganti Menjadi Pajak Tanah. Land Rent atau Landrente diganti dengan Land Tax. Administrasi pajak ditangani oleh kantor pajak yang disebut “Zaimubu Shuzeika” yang sekaligus bertugas untuk melakukan survei dan pemetaan di Pulau Jawa dan Madura.

 

3.    Zaman Kemerdekaan

a.       Pemerintah RI meneruskan pemungutan pajak atas tanah dengan nama pajak bumi.

b.      Tahun 1949-1956 (Pajak Bumi diganti dengan Pajak Pendapatan Tanah)

Pada tahun 1950 jawatan Pajak Bumi berubah menjadi jawatan Pendaftaran dan pajak Pendapatan Tanah. Pemerintah RI meneruskan pemungutan pajak atas tanah dengan nama Pajak Bumi yang kemudian diganti dengan Pajak Penghasilan atas Tanah Pertanian (PTPP) yang diatur dengan UU No 14 tahun 1951 tentang Penghapusan Pajak Bumi.

 Kemudian pada tahun 1956. Jawatan Pendaftaran dan Pajak Pendapatan Tanah berubah menjadi Jawatan Pendaftaran Tanah Milik Indonesia (PTMI), tugas pokok melakukan pendaftaran tanah milik terdaftar sebagai objek pajak.

 

c.       Tahun 1959-1985

UU no 11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi dimana “hasil yang diperoleh dari tanah” dijadikan dasar pengenaan pajak, bukan didasarkan atas nilai tanah. Kemudian pada tahun 1965 Pajak Hasil Bumi (PHB) diubah menjadi Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA), yang merupakan pajak pemerintah pusat namun dipergunakan untuk membiayai pembangunan daerah. Pengenaannya diberlakukan pada tanah-tanah sektor pedesaan, perkotaan, perkebunan, perhutanan, dan sektor pertambangan.

 

d.      Tahun 1985-Sekarang

Diterapkan UU no 12 tahun 1985 tentang PBB, yaitu mulai berlaku efektif sejak tahun 1986 serta menyederhanakan sistem pajak dengan menghapuskan 7 dasar hukum pajak atas properti yaitu :

1.      Ordinansi Pajak Rumah Tangga 1908

2.      Ordinansi Verponding Indonesia 1923

3.      Ordinansi Verponding 1928

4.      Ordinansi Pajak Kekayaan 1932

5.      Ordinansi Pajak Jalan 1942

6.      UU Darurat Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah, Pasal 14 hurud j, k, l

7.      UU no 11 Prp tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi.

Pada tahun 1994 UU no 12 tahun 1985 diubah menjadi UU no 12 tahun 1994 tentang PBB.

B. Peralihan Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan

Sejalan dengan era reformasi, dalam rangka penguatan keuangan daerah untuk melaksanakan pembangunan dan meningkatkan kemakmuran masyarakat maka pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU no 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Dalam UU tersebut mengatur ketentuan dari 16 pajak yang akan dikelola oleh Pemerintah Daerah. Salah satu jenis pajak yang akan dikelola oleh Pemerintah Daerah berasal dari jenis pajak pusat yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2)

 

Pengalihan pengelolaan PBB-P2 kepada pemerintah daerah paling lambat diserahkan pada awal tahun 2014, sehingga bagi pemerintah daerah yang sudah siap mengelola PBB-P2 sebelum tahun 2014 bisa melaksanakannya paling cepat sejak tahun 2011. Berdasarkan data yang ada pengelolaan PBB-P2 yang dikelola pemerintah daerah sejak tahun 2011 adalah Kota Surabaya. Untuk Tahun 2012 direncanakan sejumah 12 Pemerintah kabupaten/kota yang akan mengelola PBB-P2

 

 

 

Referensi :

Modul Anung Setia Nugraha, 2011

https://slideplayer.info/slide/12051746/

https://majalahpajak.net/pajak-dari-masa-ke-masa/

 

 

No comments:

Post a Comment