BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Indonesia
merupakan negara hukum. Setiap sendi kehidupan diatur oleh hukum yang berlaku
di negara ini. Salah satu implementasi hukum adalah mengenai permasalahan dalam
lalu lintas. Lalu lintas merupakan gerak atau pindah kendaraan dari suatu
tempat ke tempat yang lain dengan menggunakan alat gerak. Penegakan hukum
mengenai lalu lintas diatur sedemikian rupa untuk menekan adanya pelanggaran lalu
lintas maupun hal-hal yang tidak diinginkan lainnya, seperti kecelakaan lalu
lintas.
Kecelakaan lalu lintas akhir-akhir ini sangat sering terjadi dan banyak menimbulkan kerugian. Indonesia dilaporkan masih menjadi salah satu negara dengan tingkat kecelakaan lalu lintas tertinggi di dunia. Kecelakaan lalu lintas di Indonesia dapat digambarkan dari data dalam kurun waktu 26 tahun terakhir, menunjukkan bahwa kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Indonesia telah merenggut banyak korban jiwa.
Untuk mengatasi angka kecelakaan yang tinggi
tersebut, pada tahun 2009, Pemerintah
mengeluarkan peraturan baru sebagai pengganti atas peraturan lama (Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1992) yaitu Undang-Undang nomor
22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Undang-Undang tersebut
memiliki tujuan dalam hal menekan tingkat kecelakaan lalu lintas. Undang-Undang
ini telah berlaku selama kurang lebih selama sepuluh tahun..
Dari permasalahan tersebut, sangatlah penting dikaji mengenai
efektivitas Undang-Undang nomor 22 tahun 2009. Dalam makalah ini, penulis
memberikan judul “EFEKTIVITAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DALAM
MENEKAN TINGKAT KECELAKAAN LALU LINTAS.”
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di
atas maka dapat dirumuskan permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai
berikut.
1.
Bagaimana
efektivitas UULLAJ Nomor 22 tahun 2009 dalam menekan tingkat kecelakaan lalu
lintas jika dibandingkan dengan UULLAJ Nomor 14 tahun 1992?
2.
Faktor-faktor
apakah yang dapat menghambat pelaksanaan UULLAJ Nomor 22 tahun 2009 dalam
menekan tingkat kecelakaan lalu lintas?
3.
Bagaimana
penegakan hukum kasus kecelakaan lalu lintas berdasarkan UULLAJ Nomor 22 tahun
2009?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.
Untuk mengkaji keefektifan UULLAJ dalam menekan
tingkat kecelakaan lalu lintas jika dibandingkan dengan UULLAJ Nomor 14 tahun
1992.
2.
Untuk
mengetahui faktor yang dapat menghambat implementasi UULLAJ dalam menekan
tingkat kecelakaan lalu lintas.
3.
Untuk
mengetahui penegakan hukum kasus kecelakaan lalu lintas berdasarkan UULLAJ
Nomor 22 tahun 2009.
BAB II LANDASAN TEORI
A.
Kecelakaan
Lalu Lintas
1.1 Pengertian
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Kecelakaan lalu-lintas adalah
kejadian di mana sebuah kendaraan bermotor tabrakan dengan benda lain dan menyebabkan
kerusakan. Kadang kecelakaan ini dapat mengakibatkan luka-luka atau kematian manusia atau binatang. Kecelakaan lalu-lintas
menelan korban jiwa sekitar 1,2 juta manusia setiap tahun menurut WHO.[1]
Kecelakaan lalu lintas adalah suatu kejadian kecelakaan yang
tidak terduga, tidak direncanakan dan diharapkan yang terjadi di jalan raya
atau sebagai akibat dari kesalahan dari suatu akitivitas manusia di jalan raya,
yang mana mengakibatkan luka, sakit, kerugian baik pada manusia, barang maupun
lingkungan.
Kecelakaan
lalu lintas menurut pasal 1 UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan
Angkutan Jalan (“UULLAJ”) angka 24 adalah sebagai berikut.
“Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu
peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan
dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau
kerugian harta benda”[2]
Ada
beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas yakni :
1.
Kelalaian
pengguna jalan, misalnya : menggunakan handphone ketika mengemudi, kondisi
tubuh letih dan mengantuk, mengendarai kendaraan dalam keadaan mabuk,kurangnya
pemahaman terhadap rambu-rambu lalu lintas dsb.
2.
Ketidaklaikan
kendaraan, misalnya : kendaraan dengan modifikasi yang tidak standard, rem
blong,kondisi ban yang sudah tidak layak pakai,batas muatan yang melebihi batas
angkut kendaraan dsb.
3.
Ketidaklaikan
jalan dan/atau lingkungan. : kondisi jalan yang berlubang, kurangnya pemasangan
rambu-rambu lalu lintas dan marka jalan dsb.[3]
Kecelakaan
lalu lintas sendiri di dalam pasal 229 ayat (1) UULLAJ digolongkan atas:
Kecelakaan
Lalu Lintas ringan; merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan
Kendaraan dan/atau barang,
Kecelakaan
Lalu Lintas sedang, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan
dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.
Kecelakaan
Lalu Lintas berat, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal
dunia atau luka berat.[4]
Secara
umum mengenai kewajiban dan tanggung jawab Pengemudi, Pemilik Kendaraan
Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan ini diatur dalam Pasal 234 ayat
(1) UU LLAJ yang berbunyi:
“Pengemudi, pemilik Kendaraan
Bermotor, dan/ atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian
yang diderita oleh Penumpang dan/ atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga
karena kelalaian Pengemudi.”
Namun,
ketentuan tersebut di atas tidak berlaku jika:
a.
Adanya
keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi;
b.
Disebabkan
oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/ atau
c.
Disebabkan
gerakan orang dan/ atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan.
Pihak
yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas wajib mengganti
kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan.
Kewajiban mengganti kerugian ini dapat dilakukan di luar pengadilan jika
terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat (Pasal 236 UU
LLAJ).
Dapat disimpulkan
bahwa bentuk pertanggungjawaban atas kecelakaan lalu lintas yang hanya
mengakibatkan kerugian materi tanpa korban jiwa adalah dalam bentuk penggantian kerugian.
Di dalam UULLAJ tersebut terdapat
perlindungan bagi korban lalu lintas dan hak korban untuk menuntut ganti
rugi di dalamnya. Menurut pasal 240 UULLAJ
dijelaskan :
Korban Kecelakaan
Lalu Lintas berhak mendapatkan:
1.
Pertolongan dan
perawatan dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu
Lintas dan/atau Pemerintah.
2.
Ganti kerugian dari
pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas.
3.
Santunan Kecelakaan
Lalu Lintas dari perusahaan asuransi.
Hak korban untuk
menuntut ganti rugi selanjutnya diterangkan pada pasal 235, 236 dst
antara lain korban berhak atas biaya pengobatan dan biaya pemakaman.
1.2 Sanksi Pidana
Dalam
penentuan proses hukum pidana yang akan dilakukan selanjutnya, akibat dari
kecelakaan lalu lintas tersebut dibedakan sebagai berikut.[5]
a.
Mengakibatkan
korban materi tanpa korban jiwa
Contoh kasus kecelakaan lalu lintas
tersebut yakni seseorang/perusahaan jasa
angkutan barang yang mengalami kecelakaan.
Dalam hal
menentukan apakah kecelakaan yang mengakibatkan kerugian materi tanpa
korban jiwa merupakan tindak pidana atau bukan, berikut ini
dapat kami jelaskan bahwa menurut S.R. Sianturi dalam bukunya
berjudul “Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya” (2002
: 211), suatu tindakan dinyatakan sebagai tindak pidana jika memenuhi
unsur-unsur:[6]
o
Subjek;
o
Kesalahan;
o
Bersifat
melawan hukum (dari tindakan);
o
Suatu
tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/ perundangan dan
terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana;
o
Waktu,
tempat dan keadaan.
Jika dikaitkan dengan kecelakaan lalu
lintas sebagaimana tersebut di atas, baik kecelakaan lalu lintas ringan, sedang
maupun berat adalah termasuk tindak pidana. Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal
230 UU LLAJ yang berbunyi:[7]
“Perkara Kecelakaan Lalu Lintas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses
dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.”
Berdasarkan uraian di atas, maka
pihak yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kerugian
materi tanpa korban merupakan pelaku tindak pidana dan akan diproses secara
pidana karena tindak pidananya.
Sanksi hukum
yang dapat dikenakan atas kejadian tersebut di atas bagi pengemudi
karena kelalaian adalah sanksi pidana yang diatur dalam
dalam Pasal 310 ayat (1) UU LLAJ yang berbunyi :
(1) Setiap orang yang mengemudikan
Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu
Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
bulan dan/ atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Sedangkan dalam hal
pengemudi kendaraan bermotor dengan sengaja membahayakan
kendaraan/barang, diatur dalam Pasal 311
ayat (2) UU LLAJ yang berbunyi:
(2) Dalam hal perbuatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan
kerusakan Kendaraan dan/ atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat
(2), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
atau denda paling banyak Rp 4.000.000,00 (empat juta rupiah).
Selain pidana penjara, kurungan,
atau denda, pelaku tindak pidana lalu lintas dapat dijatuhi pidana tambahan
berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi atau ganti kerugian
yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu lintas (Pasal 314 UU LLAJ).
Sedangkan untuk perusahaan
jasa angkutan umum, dapat dikenakan sanksi yang diatur dalam pasal-pasal
berikut:
Pasal 188
Perusahaan Angkutan Umum wajib mengganti kerugian yang
diderita oleh Penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan
pelayanan angkutan.
Pasal
191
Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang
diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan
penyelenggaraan angkutan.
Pasal
193
1. Perusahaan Angkutan Umum bertanggung
jawab atas kerugian yang diderita oleh
pengirim barang karena barang musnah, hilang, atau rusak akibat penyelenggaraan
angkutan, kecuali terbukti bahwa musnah, hilang, atau rusaknya barang
disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau
kesalahan pengirim.
2. Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan
kerugian yang nyata-nyata dialami.
3. Tanggung jawab sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dimulai sejak barang diangkut sampai barang diserahkan di tempat
tujuan yang disepakati.
4. Perusahaan Angkutan Umum tidak bertanggung jawab jika kerugian disebabkan
oleh pencantuman keterangan yang tidak sesuai dengan surat muatan angkutan
barang.
Selain sanksi penggantian kerugian,
perusahaan angkutan umum yang bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim barang karena barang
musnah, hilang, atau rusak akibat penyelenggaraan angkutan dapat diberikan
sanksi berupa (lihat Pasal 199 ayat [1] UU LLAJ):
a. peringatan
tertulis;
b. denda
administratif;
c. pembekuan
izin; dan/atau
d. pencabutan
izin.
Dapat disimpulkan bahwa
kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kerugian
materi namun tidak ada korban
jiwa, perusahaan angkutan umum dapat dikenakan
sanksi penggantian kerugian berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami
sebagaimana telah kami uraikan di atas dan/atau sanksi administratif
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.
Mengakibatkan
korban materi dan korban jiwa
Pasal 310
“Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang
karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalin dengan :
1.
Kerusakan
kendaraan dan/atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam )
bulan dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000,00- (satu juta rupiah).
2.
Korban
luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.2.000.000,00- (dua juta rupiah).
3.
Korban
luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp.10.000.000,00- (sepuluh juta rupiah), dalam hal
kecelakaan tersebut mengakibatkan orang lain meninggal dunia dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam ) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.12.000.000,00- (dua belas juta rupiah).”
Pasal 311
“Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan kendaraan
bermotor dengan cara dan keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp.3.000.000,- (tiga juta rupiah).”
Dalam
hal perbuatan tersebut mengakibatkan kecelakaan lalin dengan :
1.
Kerusakan
kendaraan dan/atau barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun atau denda paling banyak Rp.4.000.000,00- (empat juta rupiah).
2.
Korban
luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp.8.000.000,00-
(delapan juta rupiah).
3.
Korban
luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau
denda paling banyak Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah), dalam hal
kecelakaan tersebut mengakibatkan orang lain meninggal dunia dipidana dengan
pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak
Rp.24.000.000,- (dua puluh empat juta rupiah).
Bagi
pelaku tindak pidana lalu lintas dapat dijatuhi pidana berupa pidana penjara,
kurungan, atau denda dan selain itu dapat dijatuhi pidana tambahan berupa
pencabutan Surat Izin Mengemudi atau ganti kerugian yang diakibatkan oleh
tindak pidana lalu lintas.
B.
Efektivitas
Hukum
2.1 Pengertian
Istilah teori efektivitas hukum berasal dari terjemahan
bahasa inggris, yaitu effectiviness of legal theory bahasa Belanda disebut
effectiviteit van de jurisdische theorie, bahasa jermannya yaitu wirksamkeit
der rechtlichen theorie. Ada tiga
suku kata yang terkandung dalam teori efektivitas hukum, yaitu teori,
efektivitas, dan hukum. Didalam kamus besar bahasa indonesia, ada dua istilah
yang berkaitan dengan efektivitas, yaitu efektif dan keefektifan.[8]
Efektif artinya ada efeknya
(akibatnya, pengaruhnya, kesannya), Manjur atau mujarab, dapat membawa hasil,
berhasil guna (tentang usaha guna, atau tindakan), mulai berlaku (tentang
undang-undang, peraturan). Keefektifan artinya keadaan berpengaruh, hal
berkesan, kemanjuran, kemujaraban, keberhasilan (usaha, tindakan) dan mulai
berlakunya (undang-undang-peraturan).[9]
Konsep efektivitas dalam definisi
Hans Kelsen difokuskan pada subjek dan sanksi. Subjek yang melaksanakannya,
yaitu orang-orang atau badan hukum. Orang-orang tersebut harus melaksanakan
hukum sesuai dengan bunyi norma hukum. Bagi orang-orang yang dikenai sanksi
hukum, maka sanksi hukum benar-benar dilaksanakan atau tidak.[10]
Dapat disimpulkan bahwa efektivitas hukum berarti
bahwa orang benar-benar berbuat sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana
mereka harus berbuat, bahwa norma-norma itu benar-benar diterapkan dan
dipatuhi.
2.2 Faktor-Faktor Ketidakefektifan Hukum
Menurut Soerjono Soekanto bahwa faktor penyebab ketidakefektifan hukum ada lima,
yaitu :[11]
a.
Faktor Hukum
Dalam
praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan
antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan
merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum
merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif.
Justru
itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum
merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu
tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum
bukan hanya mencakup low enforcement saja, namun juga peace maintenance, karena
penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai
kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.
Dengan
demikian, tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan
dengan hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan
perundang-undangan yang dapat mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang
isinya jelas bagi setiap warga masyarakat yang diaturnya dan serasi antara
kebutuhan untuk menerapkan peraturan dengan fasilitas yang mendukungnya.
Mengenai
faktor hukum dalam hal ini dapat diambil contoh pada pasal 363 KUHP yang
perumusan tindak pidananya hanya mencantumkan maksimumnya saja, yaitu 7 tahun
penjara sehingga hakim untuk menentukan berat ringannya hukuman dimana ia dapat
bergerak dalam batas-batas maksimal hukuman.
Oleh
karena itu, tidak menutup kemungkinan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap
pelaku kejahatan itu terlalu ringan, atau terlalu mencolok perbedaan antara
tuntutan dengan pemidanaan yang dijatuhkan. Hal ini merupakan suatu penghambat
dalam penegakan hukum tersebut.
b.
Faktor Penegakan
Hukum
Dalam
berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan
peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang
baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam
penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum dengan
mengutip pendapat J. E. Sahetapy yang mengatakan :
“Dalam rangka penegakan hukum dan
implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah
suatu kebijakan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan.
Dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum (inklusif
manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat,
harus diaktualisasikan”.
Di
dalam konteks di atas yang menyangkut kepribadian dan mentalitas penegak hukum,
bahwa selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat untuk
mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum, artinya hukum
diidentikkan dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum. Sayangnya
dalam melaksanakan wewenangnya sering timbul persoalan karena sikap atau
perlakuan yang dipandang melampaui wewenang atau perbuatan lainnya yang
dianggap melunturkan citra dan wibawa penegak hukum, hal ini disebabkan oleh
kualitas yang rendah dari aparat penegak hukum tersebut.
Hal
ini dapat berakibat tidak memahami batas-batas kewenangan, karena kurang
pemahaman terhadap hukum, sehingga terjadi penyalahgunaan wewenang dalam
melakukan tugas penyidikan dan tugas kepolisian lainnya.
Masalah
peningkatan kualitas ini merupakan salah satu kendala yang dialami diberbagai
instansi, tetapi khusus bagi aparat yang melaksanakan tugas wewenangnya
menyangkut hak asasi manusia (dalam hal ini aparat penegak hukum) seharusnya
mendapat prioritas. Walaupun disadari bahwa dalam hal peningkatan mutu
berkaitan erat dengan anggaran lainnya yang selama ini bagi Polri selalu kurang
dan sangat minim.
c.
Faktor Sarana atau
Fasilitas Pendukung
Faktor
sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras,
salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang diterima
oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional,
sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan di dalam tujuannya,
diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan computer, dalam tindak pidana
khusus yang selama ini masih diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut
karena secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum siap.
Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi begitu luas
dan banyak.
Oleh
karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di
dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan
mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang
aktual.
d.
Faktor Masyarakat
Penegak
hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam
masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai
kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan
hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum
masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum
yang bersangkutan.
Sikap
masyarakat yang kurang menyadari tugas polisi, tidak mendukung, dan malahan
kebanyakan bersikap apatis serta menganggap tugas penegakan hukum semata-mata
urusan polisi, serta keengganan terlibat sebagai saksi dan sebagainya. Hal ini
menjadi salah satu faktor penghambat dalam penegakan hukum.
e.
Faktor Kebudayaan
Dalam
kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan.
Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi
manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana
seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan
dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang
perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan
apa yang dilarang.
Kelima
faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi hal pokok dalam
penegakan hukum, serta sebagai tolok ukur dari efektifitas penegakan hukum.
Dari lima faktor penegakan hukum tersebut faktor penegakan hukumnya sendiri
merupakan titik sentralnya. Hal ini disebabkan oleh baik undang-undangnya
disusun oleh penegak hukum, penerapannya pun dilaksanakan oleh penegak hukum
dan penegakan hukumnya sendiri juga merupakan panutan oleh masyarakat luas.
C.
Penegakan
Hukum
3.1 Pengertian
Penegakan hukum (Law Enforcement)
merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka usaha pelaksanaan
ketentuan-ketentuan hukum baik yang bersifat penindakan maupun pencegahan yang
mencakup seluruh kegiatan baik teknis maupun administratif yang dilaksanakan
oleh aparat penegak hukum sehingga dapat melahirkan suasana aman, damai dan
tertib untuk mendapatkan kepastian hukum dalam masyarakat, dalam rangka
menciptakan kondisi agar pembangunan disegala sektor itu dapat dilaksanakan
oleh pemerintah.
Menurut Soerjono Soekanto, penegakan
hukum (law enforcement) menghendaki empat syarat, yaitu : adanya aturan, adanya
lembaga yang akan menjalankan peraturan itu, adanya fasilitas untuk mendukung
pelaksanaan peraturan itu, adanya kesadaran hukum dari masyarakat yang terkena
peraturan itu. Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo pengamatan berlakunya hukum
secara lengkap ternyata melibatkan berbagai unsur sebagai berikut : (1)
Peraturan sendiri., (2) Warga negara sebagai sasaran pengaturan, (3) Aktivitas
birokrasi pelaksana., (4) Kerangka sosial-politik-ekonomi-budaya yang ada yang
turut menentukan bagaimana setiap unsur dalam hukum tersebut di atas
menjalankan apa yang menjadi bagiannya.
Secara umum penegakan hukum dapat
diartikan sebagai tindakan menerapkan perangkat sarana hukum tertentu untuk
memaksakan sanksi hukum guna menjamin pentaatan terhadap ketentuan yang
ditetapkan tersebut, sedangkan menurut Satjipto Rahardio, penegakan hukum
adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum (yaitu
pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam
peraturan-peraturan hukum) menjadi kenyataan.
3.2 Penegakan Hukum dalam Lalu Lintas
Penegakan
hukum bidang lalu lintas dan angkutan jalan adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya
norma-norma hukum bidang lalu lintas dan angkutan jalan secara nyata sebagai
pedoman perilaku dalam penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan.
Norma-norma hukum dalam penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan telah
diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan. Penegakan hukum lalu lintas dan angkutan jalan terbagi atas :[12]
1.
Penyidikan
perkara kecelakaan lalu lintas
Pengertian
tentang penyidikan, antara lain dikutip dari Pasal 1 Undang-undang No 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana, yaitu “Penyidikan
adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan barang bukti yang
dengan barang bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan
guna menentukan tersangkanya”
Berkaitan
dengan hal tersebut, maka yang dimaksud dengan penyidikan kecelakaan lalu
lintas, adalah merupakan upaya pengungkapan pelaku, barang bukti dan TKP
(tempat kejadian perkara) yang merupakan bukti segitiga dalam pembuktiannya, di
mana TKP merupakan unsur utama yang diharapkan dapat memberikan gambaran
kejadian kecelakaan yang sebenarnya. Penyidikan kecelakaan lalu lintas dimulai
dari tahap pra penyidikan, proses penyidikan itu sendiri dan pelimpahan berkas
penyidikan kepada Penuntut Umum.
Tahap
pra penyidikan dimulai dari saat mendatangi TKP (Tempat Kejadian Perkara).
Setelah menerima laporan tentang adanya suatu kejadian kecelakaan lalu lintas,
petugas Polisi Lalu lintas segera menyiapkan perlengkapan untuk mendatangi TKP
kecelakaan lalu lintas tersebut. Setelah tiba di TKP, maka petugas segera
mengamankan TKP tersebut.
Kegiatan
yang dilaksanakan di TKP selanjutnya adalah pengolahan TKP kecelakaan lalu
lintas oleh petugas, dimulai dari pengukuran, pemotretan, mencatat identitas
saksi dan korban, pengamanan barang bukti, dan pembuatan Sket TKP
Setelah
semua kegiatan di TKP selesai dilaksanakan, maka dilakukanlah kegiatan pengakhiran di TKP. Kegiatan yang
dilaksanakan, antara lain konsolidasi, pembukaan TKP, dan permintaan Visum et
Revertum (VER) terhadap korban kecelakaan lalu lintas. Kegiatan pengolahan di TKP ini diakhiri
dengan pembuatan Berita Acara Pemeriksaan di TKP (BAP TKP). Selain Berita Acara
Pemeriksaan di TKP dibuat juga Berita Acara Pemotretan di TKP dan Berita Acara
lain-lain sesuai tindakan yang dilakukan.
Petugas juga harus mengadakan koordinasi dengan pihak Jasa Raharja dalam
rangka mempercepat klaim asuransi bagi korban luka maupun meninggal dunia.
Kegiatan
selanjutnya para petugas kembali ke kantor dan memulai tahap selanjutnya, yaitu
penyidikan kecelakaan lalu lintas.
Proses penyidikan dilakukan dengan membuat berita acara. Pembuatan
berita acara dalam proses penyidikan kecelakaan lalu lintas dapat dilakukan
dalam bentuk berita acara pemeriksaan singkat maupun berita acara pemeriksaan
biasa. Untuk kecelakaan lalu lintas dengan korban meninggal dunia dan atau luka
berat dibuat dalam acara pemeriksaan biasa (pasal 152-202 KUHAP), sedangkan
kecelakaan lalu lintas dengan korban luka ringan dan atau rugi material dibuat dalam
acara pemeriksaan singkat.
2.
Penindakan
pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan
Penindakan
pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan dilaksanakan dengan menggunakan
acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas. Seperti diketahui proses penegakan
hukum telah diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).[13] Secara
umum proses penegakan hukum (proses di pengadilan) terhadap suatu tindak pidana
dapat dikelompokkan atas 3 (tiga) kelompok, yaitu :
A.
Acara
Pemeriksaan Biasa (Bagian Ketiga, Bab XVI KUHAP)
B.
Acara
Pemeriksaan Singkat (Bagian Kelima Bab XVI KUHAP)
C.
Acara
Pemeriksaan Cepat (Bagian Keenam Bab XVI KUHAP)
BAB III PEMBAHASAN
A.
Efektivitas
UULLAJ no 22 Tahun 2009
Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah ditetapkan dalam
Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 26 Mei 2009 yang kemudian disahkan oleh
Presiden RI pada tanggal 22 Juni 2009. Undang-Undang ini adalah kelanjutan dari
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992, terlihat bahwa kelanjutannya adalah
merupakan pengembangan yang signifikan dilihat dari jumlah clausul yang
diaturnya, yakni yang tadinya 16 bab dan 74 pasal, menjadi 22 bab dan 326
pasal.
Jika kita melihat UU
sebelumnya yakni UU Nomor 14 Tahun 1992 menyebutkan Untuk mencapai tujuan
pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, transportasi memiliki posisi
yang penting dan strategis dalam pembangunan bangsa yang berwawasan lingkungan
dan hal ini harus tercermin pada kebutuhan mobilitas seluruh sektor dan
wilayah. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam
memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan serta
mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan negara.
Berbeda dengan
undang-undang Nomor 22 Tahun 2009, UU ini melihat bahwa lalu lintas dan
angkutan jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan
integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum.
Dalam hal ini, terlihat bahwa seharusnya Undang-Undang nomor 22 tahun 2009
lebih dapat menekan Tingkat Kecelakaan Lalu Lintas di Indonesia.
Tabel 1 Perbandingan
Pengaturan Undang-Undang Lalu Lintas AJ
UU Nomor 14 Tahun
1992 |
UU Nomor 22 Tahun
2009 |
Bab I Ketentuan
Umum |
Bab I Ketentuan
Umum |
Bab II Asas dan
Tujuan |
Bab II Asas dan Tujuan |
Bab III Pembinaan |
Bab III Ruang
Lingkup Keberlakuan Undang-Undang |
Bab IV Prasarana |
Bab IV Pembinaan |
Bab V Kendaraan |
Bab V
Penyelenggaraan |
Bab VI Pengemudi |
Bab VI Jaringan Lalu Lintas danAngkutan Jalan |
Bab VII Lalu Lintas |
Bab VII Kendaraan |
Bab VIII Angkutan |
Bab VIII Pengemudi |
Bab IX Lalu Lintas
dan Angkutan |
Bab IX Lalu Lintas
bagi Penderita Cacat |
Bab X Dampak
Lingkungan |
Bab X Angkutan |
Bab XI Penyerahan
Urusan |
Bab XI Keamanan
danKeselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan |
Bab XII Penyidikan |
Bab XII Dampak Lingkungan |
Bab XIII Ketentuan
Pidana |
Bab XIII
Pengembangan Industri dan Teknologi Sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan |
Bab XIV Ketentuan Lain-Lain |
Bab XIV Kecelakaan Lalu Lintas |
Bab XV Ketentuan
Peralihan |
Bab XV Perlakuan
Khusus bagi Penyandang Cacat, Manusia Usia Lanjut, Anak-Anak, Wanita Hamil,
dan Orang Sakit |
Bab XVI Ketentuan
Penutup |
Bab XVI Sistem Informasi danKomunikasi Lalu Lintas danAngkutan
Jalan |
Bab XVII Sumber
Daya Manusia |
|
Bab XVIII Peran Serta Masyarakat |
|
Bab XIX Penyidikan
dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan |
|
Bab XX Ketentuan Pidana |
|
Bab XXI Ketentuan
Peralihan |
|
Bab XXII Ketentuan Penutup |
Efektivitas
Undang-Undang no 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
mengandung arti bahwa tingkat keberhasilan atau kesuksesan Undang-Undang
tersebut dalam mengurangi atau menekan tingkat kecelakaan lalu lintas yang
terjadi di Indonesia. Dalam hal ini, untuk mengetahui keefektifan dari
Undang-Undang tersebut, dilakukan perbandingan data statistik mengenai tingkat
kecelakaan lalu lintas di Indonesia pada tahun 1992-2008 (UULLAJ Nomor 14 Tahun
1992) dan tahun 2009-2017 (UULLAJ Nomor 22 tahun 2009) untuk mengetahui
seberapa efektif Undang-Undang tersebut sejak disahkan.
Tabel 1. Data Statistik Tingkat Kecelakaan
Lalu Lintas di Indonesia tahun 1992-2008[14]
Kecelakaan |
Jumlah Kecelakaan |
Korban Mati (Orang) |
Luka Berat (Orang) |
Luka Ringan (Orang) |
Kerugian Materi (Juta Rupiah) |
1992 |
19.920 |
9.819 |
13.363 |
14.846 |
15.077 |
1993 |
17.323 |
10.038 |
11.453 |
13.037 |
14.714 |
1994 |
17.469 |
11.004 |
11.055 |
12.215 |
16.544 |
1995 |
16.510 |
10.990 |
9.952 |
11.873 |
17.745 |
1996 |
15.291 |
10.869 |
8.968 |
10.374 |
18.411 |
1997 |
17.101 |
12.308 |
9.913 |
12.699 |
20.848 |
1998 |
14.858 |
11.694 |
8.878 |
10.609 |
26.941 |
1999 |
12.675 |
9.917 |
7.329 |
9.385 |
32.755 |
2000 |
12.649 |
9.536 |
7.100 |
9.518 |
36.281 |
2001 |
12.791 |
9.522 |
6.656 |
9.181 |
37.617 |
2002 |
12.267 |
8.762 |
6.012 |
8.929 |
41.030 |
2003 |
13.399 |
9.856 |
6.142 |
8.694 |
45.778 |
2004 |
17.732 |
11.204 |
8.983 |
12.084 |
53.044 |
2005 |
91.623 |
16.115 |
35.891 |
51.317 |
51.556 |
2006 |
87.020 |
15.762 |
33.282 |
52.310 |
81.848 |
2007 |
49.553 |
16.955 |
20.181 |
46.827 |
103.289 |
2008 |
59.164 |
20.188 |
23.440 |
55.731 |
131.207 |
Rata-rata |
40.612 |
12.032 |
13.447 |
20.566 |
43.805 |
Tabel 2. Data Statistik Tingkat Kecelakaan
Lalu Lintas di Indonesia tahun 2009-2017[15]
Kecelakaan |
Jumlah Kecelakaan |
Korban Mati (Orang) |
Luka Berat (Orang) |
Luka Ringan (Orang) |
Kerugian Materi (Juta Rupiah) |
2009 |
62.960 |
19.979 |
23.469 |
62.936 |
136.285 |
2010 |
66.488 |
19.873 |
26.196 |
63.809 |
158.259 |
2011 |
108.696 |
31.195 |
35.285 |
108.945 |
217.435 |
2012 |
117.949 |
29.544 |
39.704 |
128.312 |
298.627 |
2013 |
100.106 |
26.416 |
28.438 |
110.448 |
255.864 |
2014 |
95.906 |
28.297 |
26.840 |
109.741 |
250.021 |
2015 |
98.970 |
26.495 |
23.937 |
110.714 |
272.318 |
2016 |
106.129 |
26.185 |
22.558 |
121.550 |
226.833 |
2017 |
98.419 |
25.859 |
16.159 |
--- |
212.000 |
Rata-rata |
84.072 |
25.982 |
26.954 |
102.056 |
225.293 |
Keterangan :
§ Jumlah luka ringan tahun 2017 tidak
diketahui.
§ Jumlah kerugian materi tahun 2017 bersifat
perkiraan yaitu sekitar 212.000 (Sumber : POLRI)
§ Data tahun 2018 belum direkap oleh BPS maupun
POLRI.
Berdasarkan
data statistik di atas, dapat diberikan penjelasan sebagai berikut.
Rata-rata
tingkat kecelakaan lalu lintas periode tahun 2009-2017 lebih besar daripada
periode tahun 1992-2008 dari keseluruhan yakni jumlah kecelakaan, jumlah korban
meninggal, jumlah korban luka berat, jumlah korban luka ringan, serta jumlah
kerugian materi. Dalam hal ini, dapat diambil sebuah fakta bahwa faktor utama
perbedaan yang sangat signifikan ini adalah dari tahun ke tahun jumlah
kendaraan bermotor semakin bertambah. Hal tersebut, menyebabkan semakin banyaknya
volume kendaraan bermotor di jalan raya. Padahal dapat diketahui bahwa jalan
raya yang kini kian semakin tidak memadai dengan volume kendaraan yang
membludak tersebut. Sehingga apabila perbandingan didasarkan pada jumlah
ataupun kuantitas sangatlah tidak relevan. Untuk itu, akan dikaji perubahan
persentase dalam tiap periodenya.
Pada
periode tahun 1992-2008 Indonesia masih menggunakan Undang-Undang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan no 14 tahun 1992. Grafik menujukkan hasil yang baik dari
tahun 1992 hingga tahun 2004, yaitu bahwa tingkat kecelakaan lalu lintas dapat
ditekan dalam angka di bawah 20.000 kasus. Dalam hal ini penekanan dianggap
stabil, artinya pelaksanaan Undang-Undang cukup efektif. Namun, pada tahun 2005
tingkat kecelakaan lalu lintas melonjak dengan sangat signifikan yaitu pada
angka 91.623 kasus dari sebelumya yaitu 17.732 kasus. Tentu hal ini merupakan
suatu masalah dalam tahun tersebut. Jumlah kasus kecelakaan lalu lintas
meningkat hampir sekitar 800 %. Mulai tahun inilah UULLAJ nomor 14 tahun 1992
ini mulai tidak efektif. Hal ini dapat dibuktikan bahwa pada tahun 2005 hingga
tahun 2008 tidak ada penurunan yang signifikan seperti pada periode tahun
1992-2004. Dalam hal ini, diputuskanlah digantinya UULLAJ nomor 14 tahun 1992
dengan UULLAJ nomor 22 tahun 2009.
Pada
periode tahun 2009-2017 Indonesia telah menggunakan Undang-Undang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan no 22 tahun 2009 sebagai pengganti dari Undang-Undang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan no 14 tahun 1992. Pada dua tahun pertama, yaitu pada
tahun 2009 dan 2010 tingkat kecelakaan lalu lintas dapat diminimalisir atau
ditekan, walaupun masih meningkat dari tahun 2008. Pada tiga tahun berikutnya
(2011,2012, dan 2013), tingkat kecelakaan lalu lintas kembali melonjak hingga
sekitar 40%. Pada tahun 2014-2015, angka kecelakaan lalu lintas cukup stabil.
Pada tahun 2016, angka kecelakaan lalu lintas kembali meningkat dari tahun
sebelumnya. Pada tahun 2017, tingkat kecelakaan lalu lintas mulai dapat
ditekan, hal tersebut dapat dibuktikan bahwa angka kecelakaan lalu lintas
menurun dari tahun 2016
Berdasarkan
perihal tersebut, dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan nomor 22 tahun 2009 lebih efektif dan efisien dibandingkan
dengan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan nomor 14 tahun 1992. Hal
ini dapat dibuktikan dengan persentase kenaikan tingkat kecelakaan lalu lintas.
Pada periode tahun 1992-2008 persentase kenaikan kecelakaan lalu lintas sangat
signifikan, bahkan pernah mencapai 800 % sebagai persentase tertingginya.
Tentu, jika Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan nomor 14 tahun 1992
ini dibiarkan berlaku maka akan semakin tidak efektif dalam menekan kecelakaan
lalu lintas. Sedangkan pada periode tahun 2009-2017 persentase kenaikan tingkat
kecelakaan lalu lintas tetaplah ada, namun tidak sesignifikan periode tahun
1992-2008.
Dalam
UU Nomor 22 tahun 2009, dikemukakan aturan-aturan yang lebih detail dalam
mengatur segala hal mengenai lalu lintas dan angkutan jalan dibandingan dengan
UU Nomor 14 tahun 1992. Oleh karenanya, pada tahun 2009, tingkat kecelakaan
lalu lintas dapat ditekan. Dalam hal ini, terlihat bahwa Undang-Undang ini
berlaku dengan cukup efektif.
Terlepas
dari Undang-Undang Nomor 14 tahun 1992, dalam efektivitas pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 dapat ditinjau dari jumlah kecelakaan lalu
lintas periode tahun 2009-2017 tidak stabil dimana pada suatu tahun dapat
mengalami penurunan dan pada tahun lainnya dapat mengalami kenaikan. Namun,
sebenarnya kenaikan dan penurunan tingkat kecelakaan dalam periode ini masih
dalam tarif yang wajar.
Secara teoritis maupun berdasarkan data-data
statistik, Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 memang lebih efektif dalam menekan
tingkat kecelakaan lalu lintas. Namun, tidak menutup kemungkinan Undang-Undang
Nomor 22 tahun 2009 ini tidak berjalan dengan semestinya sehingga dapat memicu
adanya kecelakaan lalu lintas. Implementasi Undang-Undang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan Nomor 22 Tahun 2009 mengalami sejumlah hambatan dikarenakan
faktor-faktor sebagai berikut.
1.
Penegakan
Hukum
Pada dasarnya program kegiatan
penegakan hukum bukan berorientasi mencari kesalahan dari pengguna jalan tetapi
lebih berorientasi pada perlindungan, pengayoman dan pelayanan pengguna jalan
yang melanggar itu sendiri (Penindakan pelanggaran Helm, Sabuk pengaman dan
kelengkapan kendaraan bermotor), Pengguna jalan lainnya (Penindakan pelanggaran
SIM, Kecepatan, rambu, marka dan lainnya) serta kepentingan pengungkapan kasus
pidana (Penindakan pelanggaran STNK, Nomor rangka, nomor mesin dan lainnya).
Program Kegiatan dalam bentuk penegakkan hukum dilaksanakan tidak hanya pada
saat Operasi Kepolisian saja tetapi dilaksanakan pula pada lokasi dan jam rawan
menurut hasil analisa dan evaluasi yang dilaksanakan oleh bagian analis lalu
lintas di lingkungan Polri dalam upaya memelihara keamanan, keselamatan,
ketertiban dan kelancaran lalu lintas.[16]
Penegakan hukum terhadap lalu lintas dapat
belum terlaksana secara optimal disebabkan oleh beberapa faktor sebagai
berikut.
a.
Metode Penegakan Hukum
- Penerapan
hukum sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 22 Tahun 2009 belum
dilaksanakan sebagaimana mestinya, seperti penerapan terhadap pasal-pasal
ancaman pidana pasal 273 sampai dengan pasal 317 maupun pasal-pasal yang
mengatur tentang Pendidikan pengemudi seperti yang tertera pada pasal 78 sampai
dengan pasal 79 juncto pasal 87 sampai dengan pasal 89.
- Penjatuhan
vonis oleh hakim terhadap pelaku pelanggaran lalu litas masih mengacu pada
tabel tilang (kesepakatan Diljapol) tidak mengindahkan ancaman pidana yang tercantum
pada ketentuan yang diatur pada pasal-pasal yang tertera pada Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 dengan nominal denda yang relatif sangat ringan sehingga
vonis yang dijatuhkan tidak memberikan efek jera bagi pelanggar yang dihukum.
- Sistem
tilang dan mekanisme proses peradilan terhadap pelanggaran lalu lintas tidak
dilaksanakan sebagaimana mekanisme sidang pengadilan yang benar, bahkan
terkesan asal-asalan.
- Konsistensi
dalam pelaksanaan penegakan hukum belum diproyeksikan pada upaya peningkatan
keselamatan lalu lintas dan kepatuhan hukum masyarakat walaupun telah ada
konsep tentang penindakan dengan pola System Potensial Point Target (SPPT) dan
pelaksanaan kawasan tertib lalu lintas (KTL).
- Penerapan
Perda yang bertentangan dengan ketentuan hirarki perundang-undangan.
- Pemanfaatan
teknologi dan laboratorium forensik dalam bidang pengungkapan kasus kecelakaan
lalu lintas utamanya kasus-kasus kecelakaan yang menonjol belum dilaksanakan.
b.
Sikap Penegak Hukum
Seorang penegak hukum, sebagaimana
halnya dengan warga-warga masyarakat lainnya, lazimnya mempunyai beberapa
kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demikian tidaklah mustahil, bahwa
antara berbagai kedudukan dan peranan timbul konflik. Kalau di dalam
kenyataannya terjadi suatu kesenjangan antara peranan yang seharusnya dengan
peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan aktual, maka terjadi suatu
kesenjangan peranan. Adapun sikap penegak hukum lalu lintas adalah sebagai
berikut:[17]
1. Lemahnya
etika moral dan profesionalisme sebagai aparat penegak hukum serta sikap arogansi
yang masih melekat dalam melaksanakan tugas penegakan hukum.
2. Banyaknya
penyimpangan yang dilakukan dengan cara melampaui batas wewenang, pungli,
bertindak kasar dan tidak mencerminkan sebagai sosok pelindung, pengayom dan
pelayan masyarakat.
3. Lemahnya
koordinasi antar aparat penegak hukum baik sesama aparat penegak hukum di jalan
maupun dengan unsur Criminal Justice System (CJS).
4. Pelaksanaan
penegakan hukum oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Departemen
Perhubungan / LLAJR terhadap pelanggaran yang sesuai dengan kewenangannya tidak
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada.
5. Penanganan
dan pengelolaan trayek angkutan umum baik angkutan umum antar propinsi maupun
trayek didalam satu propinsi sering menimbulkan terjadinya protes akibat adanya
tumpang tindih perijinan trayek serta tidak rasionalnya pemberian trayek pada
daerah tertentu dengan dalih otonomi daerah.
6. Traffic
Education belum dilaksanakan dengan baik dan kontinyu.
7. Proses
pemberian surat ijian mengemudi (SIM) tidak dilaksanakan sesuai dengan mekanisme
dan prosedur yang ada.
c.
Sarana dan Prasarana
Tanpa adanya sarana atau fasilitas
tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar.
Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan
dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang
cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi maka mustahil
penegakan hukum akan mencapai tujuannya.
Adapun beberapa hal tentang sarana
dan prasarana yang mempengaruhi peningkatan keselamatan lalu lintas adalah
sebagai berikut[18]
1. Terbatasnya
sarana dan prasarana yang mendukung terlaksananya penegakan hukum di bidang
lalu lintas antara lain :
a.
Perlengkapan jalan seperti : rambu-rambu,
marka jalan, penerangan jalan dan tanda-tanda lalu lintas lain dirasakan masih
sangat kurang.
b.
Mobilitas aparat penegak hukum yang tidak mengimbangi
hakekat ancaman.
c.
Alat teknologi yang dapat dimanfaatkan
untuk tugas penegak hukum, belum bisa dioperasionalkan secara yuridis.
2. Tidak
berfungsinya jalan sebagaimana mana mestinya, akibatnya penggunaan untuk kaki
lima, parkir pada badan jalan, bangunan pada daerah manfaat jalan dan
sebagainya.
3. Rendahnya
disiplin dan budaya tertib para pemakai jalan, sebagaimana akibat kualitas
disiplin yang rendah, pemahaman aturan yang kurang, dan pengaruh manajemen transportasi
yang tidak sehat.
4. Belum
adanya organisasi khusus yang bertanggung jawab terhadap keselamatan lalu
lintas di negeri ini dalam wadah / badan koordinasi dibidang lalu lintas yang
ada di wilayah-wilayah belum mencerminkan kinerja yang terfokus pada masalah
keselamatan lalu lintas.
2.
Kesadaran
Masyarakat
Faktor
masyarakat merupakan faktor yang paling berperan penting dalam pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan jalan di
Kecamatan Pitumpanua. Hal ini dikarenakan Undang-Undang ini mengatur segala
aspek peraturan yang menyangkut seluruh kegiatan masyarakat di jalan raya.
Mulai dari cara berkendara roda dua sampai sanksi bagi setiap pelanggarnya telah
di atur di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan
Angkutan jalan tinggal bagaimana manusia mematuhi setiap peraturan tersebut.
Rendahnya
kesadaran masyarakat memicu terjadinya banyak penyimpangan terhadap pelaksanaan
Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nomor 22 Tahun 2009. Masyarakat
cenderung mengindahkan peraturan-peraturan yang ada dalam Undang-Undang
tersebut. Mereka cenderung melanggar peraturan lalu lintas seperti, menerobos
lampu lalu lintas, tidak memperhatikan rambu-rambu lalu lintas, berkendara
dengan melawan arus. Hal tersebut seringkali dilakukan dengan disertai berbagai
alasan misalnya terlambat kerja atau ke sekolah, alasan keluarga dan lain
sebagainya.
Rendahnya
kesadaran masyarakat untuk mematuhi peraturan lalu lintas menjadi faktor
terbesar yang memicu terjadinya kecelakaan lalu lintas. Semakin banyak
masyarakat yang tidak memiliki kesadaran hukum, semakin meningkat tingkat
kecelakaan lalu lintas di Indonesia.
3.
Faktor Kondisi Jalan raya
Faktor jalan ini dapat menjadi salah
satu faktor pemicu dalam kecelakaan lalu lintas. Faktor jalan yang dimaksud seperti
desain geometrik jalan dan layout yang tidak sesuai, kondisi
permukaan jalan yang kurang memenuhi syarat (berlubang), fasilitas pejalan kaki
tidak memadai, pencahayaan jalan. Dengan semakin banyaknya volume pengguna
kendaraan bermotor, tentunya membuat jalan raya tidak dapat memadai sebagai
mana mestinya.
4.
Faktor Lingkungan/Cuaca
Meski terlihat sepele, namun cuaca hujan deras, angin
ribut, berkabut, hingga udara kering yang menyebabkan jalanan berdebu juga
tercatat sebagai penyebab kecelakaan. Persentasenya mencapai 13 persen.
Guyuran air hujan selain menyebabkan keterbatasan
pandangan juga menjadikan kemampuan ban untuk mencengkeram lintasan juga
berkurang. Terlebih bila kendaraan yang berada di depan atau belakang tidak
memiliki kewaspadaan yang tinggi atau bermasalah. Di negara-negara tropis
seperti Indonesia, faktor cuaca seperti hujan memiliki tingkat potensi tinggi
memicu terjadinya kecelakaan.
5.
Faktor Kelalaian Pengemudi
Kelalaian
atau ketidakhati-hatian pengemudi ini menjadi faktor terbesar yang dapat memicu
kecelakaan lalu lintas. Untuk mengetahui apakah seseorang tersebut tidak
berhati-hati dapat dilihat dari faktor eksternal, yaitu tidak mempersiapkan
kendaraan dan peralatannya dalam kondisi yang prima.Yang kedua yaitu faktor
internal, yaitu penguasaan serta keterampilan pengendara kurang begitu baik
atau juga kondisi fisik pengemudi kurang prima, misalnya sedang terkena flu,
dalam kondisi mabuk atau mengantuk.
B.
Analisis
Kasus Kecelakaan Lalu Lintas dengan Tersangka Syaiful Jamil
4.1 Kronologis Kejadian
Kecelakaan
yang terjadi di tol Cipularang itu berawal ketika mobil Toyota Avanza nopol B
1843 UFU (Mobil Rental) yang dikemudikan Syaiful Jamil beserta istri dan
delapan kerabatnya melaju dari arah Bandung menuju Jakarta. Saat tengah melaju
di lajur kanan Km 96.500 arah Bandung-Jakarta, tiba-tiba dari kiri jalan
menyalip sebuah bus.
Syaiful
Jamil yang saat itu tengah memegang kemudi kaget. Mobil Toyota Avanza tersebut
kemudian oleng ke kanan jalan dan menabrak tembok pembatas jalan. Tidak hanya
itu saja, setelah menabrak tembok pembatas mobil itu kemudian terbalik.
Akibatnya, istri Syaiful Jamil, Virginia Anggraeni yang duduk di jok tengah
bagian kanan tewas seketika, sedangkan 9 penumpangnya yang lain mengalami
luka-luka yang langsung dievakuasi ke rumah sakit Efarina Etaham, Purwakarta.
Para korban dalam kecelakaan lalu lintas itu adalah Virginia Anggraeni (23)
warga Kampung Bahari Gg Darma 58 Rt 01/08, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Sedangkan korban luka berat adalah Hafiah (33), Imas (16), Arum (18), semuanya
beralamat di Kampung Bahari Gg Darma 58 Rt 01/08, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Korban luka ringan adalah Syaiful Jamil, Fadrin, Fadil, Samsul, Ade dan Qori.[19]
4.2 Fakta dan Opini Kasus
a.
Fakta
Kasus
§ Data awal yang dihimpun polisi, mobil
tersebut hanya memiliki satu rem dan overkapasitas. Dalam mobil tersebut diisi
oleh 10 penumpang, padahal kapasitas seharusnya hanya enam orang.[20]
§ Kendaraan yang dikemudikan Saipul dalam
kondisi tidak prima, seperti rem mobil hanya berfungsi satu dari dua bagian
kiri dan kanan.
b.
Opini
yang beredar
§ Saiful Jamil mengemudi dalam keadaan
mengantuk.
§ Angin tiba-tiba bertiup dengan kencang.
§ Kecelakaan terjadi karena jalan tol Cipularang angker.[21]
4.3 Analisis
Dari
kasus diatas maka kita dapat mencermati adanya masalah hukum didalamnya.
Menabraknya mobil avanza ke pembatas jalan sehingga oleng terjatu dan
menewaskan korban merupakan sebuah kecelakaan lalu lintas yang menurut Pasal
229 UU No. 22 Thn 2009 tentang Lalu lintas dan Jalan tepatnya pasal 4, dapat digolongkan sebagai
jenis kecelakaan berat. Adapun
redactional nya adalah sebagai berikut.[22]
“Kecelakaan
Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan
kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat”
Syaiful
Jamil yang dalam hal ini berperan sebagai Pengemudi dituntut harus
mempertanggung jawabkan atas kecelakaan yang terjadi meskipun dari Syaiful
Jamil sendiri tidak pernah ada niat dan
menginginkan kecelakaan maut itu terjadi.
4.4 Sanksi Pidana
Hal
ini karena didalam kecelakaan lalu lintas tersebut, faktor manusialah yg
merupakan penyebab utama terjadinya kecelakaan lalu lintas di jalan raya yaitu
dikarenakan adanya kecerobohan atau kealpaan Syaiful Jamil dalam mengemudikan
kendaraannya. Dalam hal ini, Syaiful Jamil dapat dikatakan bersalah karna tidak
adanya rasa hati-hati dan lalai dalam mengemudikan kendaraannya.
Masalah-masalah kealpaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dijelaskan pada
ketentuan Pasal 359 dan 360, yaitu:
1.
Pasal
359. Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu
tahun.
2.
Pasal
360. Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapatkan luka
berat diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun kurungan paling lama
satu tahun.
Menurut
uraian pada Pasal 359 dan Pasal 360 dapat disimpulkan bahwa apabila kealpaan
atau kelalaian pengemudi itu mengakibatkan orang lain atau korban meninggal
dunia ancaman pidananya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 359 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana.
Dalam
hal ini, kasus kecelakaan Syaiful Jamil diproses secara pidana, walaupun yang
meninggal adalah istrinya, Virginia. Berikut penjelasannya menurut UULLAJ Nomor
22 tahun 2009.
Pasal
235 ayat (1) UU No. 22/2009 tentang LLAJ yang berbunyi:
“Jika korban meninggal dunia akibat
Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c,
Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan
kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman
dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.”[23]
UU
LLAJ yang baru memang punya semangat besar untuk menghukum pelanggar
seberat-beratnya, termasuk dengan hukuman pidana. Ini berbeda dengan UU LLAJ
lama, yakni UU No. 14/1992. Pada Pasal 28 UU tersebut berbunyi:
“Pengemudi kendaraan bermotor bertanggung
jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pemilik barang
dan/atau pihak ketiga, yang timbul karena kelalaian atau kesalahan pengemudi
dalam mengemudikan kendaraan bermotor.”[24]
Dan
Pasal 31 ayat (1) berbunyi:
“Apabila korban meninggal, pengemudi dan/atau
pemilik dan/atau pengusaha angkutan umum wajib memberi bantuan kepada ahli
waris dari korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman.”[25]
Jadi,
berdasarkan UU LLAJ yang lama, kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban
meninggal dunia tidak harus diproses secara pidana. Sebaliknya, berdasarkan UU
LLAJ yang baru, kecelakaan demikian harus diproses secara pidana, tak peduli
yang jadi korban kecelakaan adalah istri atau anak sendiri.
Pasal
310 ayat (4) UU No. 22/2009 yang dipakai polisi untuk menjerat Saipul Jamil.
Pasal tersebut berbunyi:
“Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”[26]
Ayat
(3) yang dimaksud di situ ialah Pasal 310 ayat (3) yang berbunyi:
“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan
Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan
korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).”[27]
Sementara
itu, Pasal 229 ayat (4) berbunyi:
“Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban
meninggal dunia atau luka berat.”[28]
Dan,
Pasal 229 ayat (1) berbunyi:
“Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas:
a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan;
b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau
c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.”
Perlu
diketahui bahwa proses penyidikan, penuntutan dan persidangan perkara pidana pasti
difokuskan pada unsur-unsur tindak pidana.
Dalam
kasus Saipul Jamil, unsur-unsur pidana yang terkandung dalam Pasal 310 ayat (4)
UU No. 22/2009 adalah: (1) Setiap orang; (2) Mengemudikan kendaraan bermotor;
(3) Karena lalai; dan (4) Mengakibatkan orang lain meninggal dunia.
Sejauh
ini, unsur pertama, kedua dan keempat sudah terbukti ada. Tinggal unsur ketiga
yang belum terbukti. Melalui penyidikan, pihak polisi hendak membuktikan adanya
unsur kelalaian itu.
Dalam
uraian di atas, Saipul Jamil akan dijerat dengan Pasal 310 ayat (4) UU No.
22/2009. Ancaman hukuman maksimalnya ialah pidana penjara selama 6 tahun.
Dalam persidangan yang dilakukan di
Pengadilan Negeri Purwakarta, Syaiful Jamil dituntut hukuman 1,5 tahun penjara
oleh Pengadilan Negeri Purwakarta atas kasus kecelakaan yang menewaskan
istrinya, Virginia Anggraeni. Namun,
pada akhirnya hakim memutuskan memberikan sanksi pidana kepada Syaiful jamil
berupa kurungan penjara selama lima bulan dengan sepuluh kali percobaan.
Dalam
hal ini, penegakan hukum dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Nomor 22 tahun 2009 akan ditegakkan apabila masyarakat melakukan pelanggaran
terhadap pelaksanaannya.
BAB IV PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan
dalam pembahasan, maka didapat beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1.
Berdasarkan
analisis data statistik tingkat kecelakaan lalu lintas dalam periode tahun
1992-2008 dan 2009-2017, Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nomor 22
tahun 2009 lebih efektif jika dibandingkan dengan Undang-Undang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan Nomor 14 tahun 1992.
2.
Faktor-faktor
yang dapat menghambat implementasi Undang-Undang Lalu Lintas Nomor 22 Tahun
2009 yakni faktor penegakan hukum, kesadaran masyarakat, kondisi jalan raya,
lingkungan atau cuaca dan kelalaian pengemudi.
3.
Berdasarkan
contoh kasus kecelakaan lalu lintas Syaiful Jamil, penegakan hukum dilakukan
secara optimal berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 dengan memberikan
sanksi pidana kepada Syaiful Jamil berupa kurungan penjara selama lima bulan.
B.
Saran
Berdasarkan
dari kesimpulan maka dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut.
1.
Kepada
pemerintah, diharapkan semakin berusaha untuk mengurangi tingkat kecelakaan
lalu lintas di Indonesia dengan adanya peraturan lalu lintas yang lebih efektif
dan efisien serta memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi para pengguna sarana
dan prasarana transportasi.
2.
Kepada
aparat penegak hukum, diharapkan memiliki etika dan moral yang baik serta
semakin meningkatkan professionalisme, ketegasan, dan konsistensi dalam upaya
penegakan hukum.
3.
Kepada
masyarakat, diharapkan semakin meningkatkan kesadaran hukum mengenai
peraturan-peraturan yang telah ada. Dengan semakin sadarnya masyarakat akan
peraturan lalu lintas, semakin menekan tingkat kecelakaan lalu lintas.
[1]
Kecelakaan
Lalu Lintas. https://id.wikipedia.org/wiki/Kecelakaan_lalu-lintas. (Diakses pada Sabtu, 8 Desember 2018 pukul
12.42)
[2]
UU
no 22 tahun 2009. http://hubdat.dephub.go.id/uu/288-uu-nomor-22-tahun-2009-tentang-lalu-lintas-dan-angkutan-jalan.(Diakses pada Sabtu, 8 Desember 2018 pukul
13.32)
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5]
Waskito, Tecky. 2011. Jenis dan Ketentuan Pidana Kecelakaan Lalin Menurut UU 22/2009 &
KUHP. https://teckywaskito.wordpress.com/2011/03/01/jenis-dan-ketentuan-pidana-kecelakaan-lalin-menurut-uu-222009-kuhp.(Diakses pada Sabtu, 8 Desember 2018 pukul
13.57)
[6]
Musjab, Imam. 2011. Kecelakaan Lalu Lintas Berdasarkan UULLAJ no 22 tahun 2009.https://ahliasuransi.com/kecelakaan-lalu-lintas-berdasarkan-uullaj-no-22-tahun-2009/.(Diakses pada Sabtu, 8 Desember 2018 pukul
13.00)
[7] Ibid.
[8]
Sarmyendra, Hendy. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Suatu Hukum. http://sarmyendrahendy.blogspot.com/2012/06/dalamrealita-kehidupan-bermasyarakat.html. (Diakses pada Sabtu, 8 Desember 2018 pukul
23.44)
[9]
Redaksi Berita Transparansi.2016. Pengertian Teori Efektivitas Hukum. https://www.beritatransparansi.com/pengertian-teori-efektivitas-hukum/.(Diakses pada Sabtu, 8 Desember 2018 pukul
23.52)
[10] Ibid.
[11]
Sarmyendra, Hendy. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Suatu Hukum. http://sarmyendrahendy.blogspot.com/2012/06/dalamrealita-kehidupan-bermasyarakat.html. (Diakses pada Sabtu, 8 Desember 2018 pukul
23.44)
[12] Respekalongan.2011. Penegakan Hukum di Bidang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan. https://lantasrestapkl.wordpress.com/2011/08/19/penegakan-hukum-di-bidang-lalu-lintas-dan-angkutan-jalan/ (Diakses pada Kamis, 13 Desember 2018 pukul 20.44)
[13]
Ibid.
[14] Data Statistik Tingkat Kecelakaan Lalu Lintas di
Indonesia. https://www.bps.go.id/ (Diakses pada Sabtu,
8 Desember 2018)
[15] Ibid.
[16] Anggarasena, Bima. Jurnal
Strategi Penegakan Hukum dalam Rangka Meningkatkan
Keselamatan Lalu Lintas dan Mewujudkan Masyarakat Tertib Hukum https://core.ac.uk/download/pdf/11722745.pdf. (Diakses pada Kamis, 13 Desember
2018 pukul 21.00)
[18] Ibid.
[19]
Ayu, Shinta. 2012. Analisis Kasus Kecelakaan Syaiful Jamil https://shintacintahukum.wordpress.com/2012/04/18/analisis-kasus-kecelakaan-syaiful-jamil/. (Diakses pada Jum’at, 14
Desember 2018 pukul 12.36)
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] http://hubdat.dephub.go.id/uu/288-uu-nomor-22-tahun-2009-tentang-lalu-lintas-dan-angkutan-jalan.
[24]
UU
no 22 tahun 2009. http://hubdat.dephub.go.id/uu/288-uu-nomor-22-tahun-2009-tentang-lalu-lintas-dan-angkutan-jalan.(Diakses pada Sabtu, 8 Desember 2018 pukul
13.32)
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Ibid.
No comments:
Post a Comment