BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pajak memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang sangat potensial. Penerimaan hasil pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran yang berkaitan dengan pembangunan yang dilakukan pemerintah untuk kebutuhan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu pajak merupakan iuran wajib yang dipungut dari warga Negara Indonesia yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang. Untuk mendukung berjalannya pembangun di Indonesia dibutuhkan peran serta kesadaran masyarakat tentang kewajiban membayar pajak, karena pada akhirnya hasil penerimaan pajak dari masyarakat juga akan digunakan untuk kepentingan masyarakat. Sehingga fungsi dari diberlakukannya pajak adalah pencapaian peningkatan ekonomi suatu negara. Sehingga pajak merupakan alternatif yang sangat potensial sebagai sumber penerimaan negara.
Salah satu kewajiban pajak subyek pajak adalah Pajak Penghasilan. Pajak penghasilan merupakan pajak yang dibebankan pada
penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya. Pajak penghasilan bisa
diberlakukan progresif, proporsional, atau regresif.
Pajak
Penghasilan menjadi suatu kewajiban bagi setiap orang pribadi yang telah memiliki
penghasilan. Dalam hal ini terdapat sejarah atau rentetan peristiwa pengenaaan
pajak atas penghasilan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menjabarkannya dalam makalah
ini yang berjudul “SEJARAH PERKEMBANGAN,
PENGENAAN PAJAK ATAS PENGHASILAN, DAN LATAR BELAKANG PERUBAHAN UU PPH”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas maka dapat
dirumuskan permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana sejarah perkembangan pajak atas penghasilan ?
2. Bagaimana pengenaan pajak atas penghasilan sebelum adanya Pajak
Penghasilan (PPh) ?
3. Bagaimana latar belakang perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan
?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan pajak atas penghasilan.
2. Untuk mengetahui pengenaan pajak atas penghasilan sebelum adanya
Pajak Penghasilan (PPh).
3. Untuk mengetahui latar belakang perubahan Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Pajak Atas Penghasilan
Pajak Penghasilan atau biasa disebut PPh merupakan pajak yang
dibebankan kepada seseorang atau invidu, perusahaan atau badan hukum, Pajak
Penghasilan sebenarnya sudah ada sejak jaman Romawi Kuno. Ditandai dengan
pemungutan pajak yang bernama tributum yang
berjalan hingga tahun 167 sebelum masehi. Pajak penghasilan ini juga
diberlakukan di Inggris sebagai Income
Tax pada tahun 1799.
Sementara itu di Amerika, Pajak penghasilan pertama kali di
kenalkan pada tahun 1643 di New Playmont, Undang undang pajak federal sendiri mulai
diperkenalkan pada tahun 1861 yang kemudian beberapa kali mengalami tax reform.
Berdasarkan Undang-undang pajak federal tax return atau surat pemberitahuan
pajak penghasilan ini dibuat pada tahun 1860 dan telah dipergunakan pada tahun
1962.
Sejarah Pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan
adanya tenement tax ( huistaks ) pada
tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan terhadap mereka yang menggunakan
bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan.
Pada tahun 1908 terdapat perbedaan antara pajak terhadap penduduk
pribumi dan pajak terhadap penduduk Eropa. Perlakuan terhadap orang pribumi
diberi nama business tax dan Patent Duty untuk orang Eropa.
Sebaliknya business tax atau bedrijfsbelasting untuk
orang pribumi. Di samping itu, sejak
tahun 1882 hingga 1916 dikenal adanya Poll Tax yang
pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan tanah
Setelah itu terdapat Ordonansi Pajak pendapatan yang diperlakukan
untuk orang orang Eropa, Dan badan Usaha bisnis tanpa memerhatikan kebangsaan
pemilik sahamnya. Dasar pengenaan pajak ini adalah penghasilan dari barang
yangbergerak dan barang yang tidak bergerak, pembayaran berkala, pendapatan
pejabat pemerintah dan hasil usaha, Tarif yang diberlakukan pun bersifat
proposional. Kemudian pada tahun 1920 menjadi tahun unifikasi dimana peraturan
dualistik kemudian dihilangkan dan digantikan dengan general income tax yakni
Ordonasi yang diterapkan diseluruh penduduk, baik warga pribumi, Eropa, Maupun
Asia. Seiring dengan banyaknya perusahaan , timbul pula kebutuhan pajak
pendapatan karyawan. Hingga akhirnya pada tahun 1935 mulai diterapkan Ordonasi
Pajak Upah yang mewajibkan para majikan untuk memotong gaji pegawai sebagai
pajak tarif berkisar 0% - 15%.
Pada zaman Perang Dunia II diberlakukan Oorlogsbelasting (Pajak
perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan
nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak
Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan
sendiri disingkat dengan PPd saja.
Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama
dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang
Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak
Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan
“UU MPO dan MPS”. Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970 yang
berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya reformasi
pajak di Indonesia.
Sejarah Perkembangan Pajak Sejak Tax Reform 1983 sampai dengan
sekarang.
v Ketentuan Material dan Ketentuan Formal
Sejak reformasi perpajakan tahun 1983, Undang-Undang yang mengatur
ketentuan material tentang Pajak Penghasilan dipisahkan dengan
Undang- Undang yang mengatur ketentuan formal.
1. Ketentuan Material
Hukum pajak material mengatur ketentuan-ketentuan mengenai siapa
saja yang dikenakan pajak, apa saja yang dikenakan pajak, dan berapa tarif
pajaknya sehingga bisa dihitung besarnya pajak yang terutang. Dengan kata lain,
hukum pajak material mengatur tentang subjek pajak, objek pajak, dan tarif
pajak sehingga bisa dihitung besarnya pajak terutang. Sebagai sumber hukum dari
ketentuan material Pajak Penghasilan adalah
v Peraturan Perundang-undangan tentang Pajak Penghasilan
Secara hierarkis peraturan perundang-undangan terdiri dari :
a. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
b. Peraturan Pemerintah
c. Peraturan Presiden / Keputusan Presiden (sebelum tahun 2005)
d. Peraturan Menteri Keuangan / Keputusan Menteri Keuangan (sebelum
tahun 2005)
e. Peraturan Direktur Jenderal Pajak / Keputusan Jenderal Pajak
(sebelum tahun 2005)
Selain peraturan perundang-undangan di atas, Direktur Jenderal
Pajak juga menerbitkan surat edaran dan surat yang berisi tentang petunjuk
teknis tentang pemungutan pajak.
·
Tax treaty
Selain itu, pemerintah melakukan perjanjian perpajakan dengan
pihak lain Untukpenghasilan yang berasal dari lintas negara (cross-border)
selain berlaku Pajak Penghasilan ketentuan domestik di atas, juga berlaku
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
Sampai saat ini Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan sudah
mengalami perubahan sebanyak empat kali, yaitu :
ü Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tetang Pajak Penghasilan
ü Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Pertama atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
ü Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
ü Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
ü Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
ü Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Sehingga undang-undang yang mengatur Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tetang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Berikut sistematika undang-undang tersebut :
BAB I
: KETENTUAN UMUM : Pasal 1
BAB II
: SUBJEK PAJAK Pasal 2- Pasal 3
BAB
III : OBJEK PAJAK Pasal 4 - Pasal 15
BAB IV
: CARA MENGHITUNG PAJAK Pasal 16 - Pasal 19.
BAB V
: PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN Ps 20 -Ps 27
BAB VI
: KREDIT PAJAK, PELUNASAN KEKURANGAN PEMBAYARAN PAJAK, SURAT PEMBERITAHUAN
TAHUNAN DAN PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK Pasal 28 - Pasal 31
BAB
VII : KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 32
BAB
VIII : KETENTUAN PERALIHAN pasal 33 - Pasal 34
BAB IX
: KETENTUAN PENUTUP Pasal 35 - Pasal 36
2. Ketentuan Formal
Hukum pajak formal ialah hukum pajak yang memuat
ketentuan-ketentuan mengenai tata cara agar pajak yang terutang menjadi
kenyataan sehingga sampai masuk ke kas negara. Hukum pajak formal memuat
ketentuan tentang tatacara, hak, dan kewajiban wajib pajak serta sanksi jika kewajiban
tersebut tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Dengan kata lain, hukum pajak
formal merupakan hukum acara.
Undang-undang yang mengatur ketentuan formal atas Pajak
Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009, beserta peraturan pelaksanaannya. Dalam peraturan tersebut diatur
antara lain :
a. Bagaimana cara mendaftarkan diri untuk diterbitkan Nomor Pokok
Wajib Pajak ?
b. Bagaimana cara membayar pajak ?
c. Bagaimana cara melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak?
d. Sanksi-sanksi jika kewajiban tersebut tidak dilaksanakan
sebagaimana mestinya.
Sampai saat ini Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sudah mengalami perubahan sebanyak empat kali, sehingga namanya
menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan yang telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun
2009.
B. Pengenaan Pajak Atas Penghasilan Sebelum Berlakunya Undang-Undang
PPh
Peraturan
perundang-undangan perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak yang
berlaku hingga saat ini, secara historis tidak terlepas dari sistem pajak
warisan jaman kolonial. Malah jika ditarik ke belakang lebih jauh, pemajakan itu
sendiri telah menjadi bagian budaya sejak jaman kerajaan-kerajaan kuno.
Prasasti Rukam pada dinasti Mataram Kuno (900M) misalnya, menceritakan
bagaimana seorang raja menunjuk kepala daerah yang bertugas merawat dan memberi
persembahan
pada bangunan suci. Pejabat yang ditunjuk tersebut diberi juga kewenangan untuk
menarik pajak penghasilan desa sebagai ongkos perawatan.
Contoh
lain, pada jaman Sultan Agung, pajak telah digunakan untuk memenuhi berbagai
kebutuhan keraton. Pada
saat itu pajak tidak selalu berbentuk uang. Heri Priyatmoko, penulis buku Jejak
Pajak Indonesia, dari Mataram Kuno Hingga Budi Oetomo, menyebutkan bahwa
salah satu desa di Klaten memiliki kewajiban untuk menyerahkan beras untuk
keperluan istana. Pajak pada masa kerajaan ini lebih sebagai upeti, tanda
tunduk dan takluk pada penguasa.
Sistem
pemajakan modern mulai dikenalkan pada jaman penjajahan Hindia Belanda.
Daerah-daerah kerajaan di bawah penguasaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda
wajib tunduk pada hukum yang berlaku di Hindia Belanda. Hukum yang dikenal
dengan Staatsblad Van Nederlandsch – Indie. Dengan hukum itu, sejak
tahun 1816 mulai dikenal istilah tenement tax atau huistax yakni
sejenis pajak yang dikenakan untuk mereka yang menggunakan tanah dan bumi
sebagai tempat berdirinya bangunan atau rumah. Pajak mulai diatur secara jelas
-untuk ukuran saat itu. Aparat pajak dan institusi dibentuk termasuk hingga
Majelis Banding Pajak. Meski demikian, sistem pajak pada zaman penjajahan ini
secara subtantif tidak terlalu jauh berbeda coraknya dengan upeti pada jaman
kerajaan-kerajaan kuno sebelum Indonesia ada. Pajak dibuat semata-mata hanya
untuk menghimpun dana bagi Pemerintah penjajahan dalam rangka mempertahankan
dan memperbesar kekuasaannya di Hindia Belanda.
Oleh
karenanya pemungutan
pajak saat itu dirasakan oleh rakyat sebagai beban yang berat, sebab baik
penetapan jumlah pajak, jenis pajak maupun tata cara pemungutan pajaknya
dilaksanakan di luar rasa keadilan tanpa menghiraukan kemampuan serta menambah
beban penderitaan dan jauh dari pertimbangan dan penghargaan kepada hak asasi
rakyat. Pajak hanyalah merupakan kewajiban semata-mata yang harus dilaksanakan
rakyat secara patuh.
Peraturan
perundang-undangan perpajakan atas penghasilan sebelum berlakunya UU PPh yang dibuat pada zaman
pemerintahan penjajahan Belanda antara lain :
ü Pajak
Penghasilan 1920
Sebelum
tahun 1920, pengenaan pajak penghasilan di daerah Hindia Belanda diatur dengan
berbagai macam ketentuan. Sebagai contoh adanya pajak pribumi dan non pribumi.
Pajak pribumi ini masih terbagi lagi misalnya pajak untuk orang Jawa dan orang
Madura. Sementara pajak non pribumi masih dibagi lagi menjadi pajak orang Asia
dan pajak orang Eropa. Mulai tahun 1920, cara pemajakan yang berdasar
kebangsaan tersebut dihapus. Pada cara pemajakan baru ini akhirnya dikenal asas
unifikasi, yaitu pengenaan pajak yang tidak berdasarkan pada kebangsaan
seseorang. Pajak Penghasilan 1920 berlaku bagi semua penduduk, pribumi maupun
non pribumi. Sistem pajak juga berlaku bagi perorangan maupun badan usaha. Meski
demikian tetap ada perbedaan tarif yang didasarkan pada domilisi wajib pajak.
Selain
memperkenalkan asas unifikasi, sistem pajak penghasilan 1920 juga
memperkenalkan worldwide income. Wajib pajak dalam negeri dikenakan
pajak penghasilan untuk semua penghasilan, baik yang bersumber dari dalam
negeri maupun luar negeri. Untuk wajib pajak luar negeri, pajak dikenakan atas
penghasilan yang bersumber dari Indonesia.
Pajak
penghasilan dikenakan atas penghasilan neto. Untuk menentukan penghasilan kena
pajak, digunakan metode ‘kira-kira’ atau taksiran jumlah penghasilan sebenarnya
di tahun yang akan datang. Perkiraan dilakukan pada awal tahun (1 Januari).
Tarif
pajak penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi bersifat progresif mulai dari
1% hingga 25%, sedang tarif pajak penghasilan untuk wajib pajak badan sebesar
6%.
ü Pajak
Perseroan 1925
Pajak
Perseroan 1925 merupakan hasil kerja reformasi pajak yang dilakukan Panitia
Pajak Perseroan Hindia Belanda. Reformasi pajak ini pada dasarnya melakukan
beberapa perubahan atas ketentuan pajak penghasilan 1920. Beberapa hal yang
diubah adalah perseroan dan badan-badan dikenakan pajak tersendiri dengan tarif
proporsional sebesar 10% dengan kemungkinan diberikan ‘surtax’ setiap waktu dan
pajak dikenakan atas laba neto usaha.
Ordonansi
Pajak Perseroan ini sebagian besar telah mengadopsi prinsip-prinsip akuntansi
modern seperti prinsip taat asas, adanya metode penyusutan dan penilaian
aktiva. Ordonansi juga memperbaiki prinsip worldwide income dengan memberi
batasan jumlah hari untuk tetap disebut wajib pajak dalam negeri. Ordonansi
Pajak Perseoran berlaku hingga tahun 1983 dengan beberapa kali perubahan tarif.
Perubahan yang masih sempat dipakai adalah pengenaan tarif progresif dari 20%
menjadi 45%.
ü Pajak
Pendapatan 1932
Pajak
Pendapatan 1932 pada dasarnya adalah hasil reformasi ketentuan perpajakan 1920
yang diberlakukan bagi wajib pajak orang pribadi. Pada saat reformasi pajak
1925 dilakukan, Panitia Reformasi Pajak menghasilkan Ordonansi Pajak Perseroan
1925 yang diberlakukan untuk perseroan dan badan usaha. Namun untuk wajib pajak
perseorangan masih ketinggalan sehingga wajib pajak perorangan tetap dikenai
pajak dengan ketentuan pajak penghasilan 1920.
Pemberlakuan
ketentuan pajak penghasilan yang baru bagi wajib perorangan ditandai dengan
dikeluarkannya Ordonansi Pajak Pendapatan 1932. Tidak banyak perubahan
perlakuan bagi wajib pajak perorangan dibanding dengan Pajak Penghasilan 1920.
Pada Ordonansi ini diperkenalkan asas sumber, jangka waktu untuk disebut wajibb
pajak dalam negeri dan batasan penghasilan tidak kena pajak bagi wajib pajak
orang pribadi.
ü Pajak
Upah 1935
Ordonansi
Pajak Pendapatan 1932 berlaku bagi orang pribadi yang memperoleh penghasilan
dari berbagai sumber. Pada tahun 1935 mulai diperkenalkan pajak yang dikenakan
atas penghasilan orang pribadi sebagai karyawan. Ini merupakan cikal bakal
witholding tax. Ketentuan pajaknya diatur dengan Ordonansi Pajak Upah 1932.
Pengenaan pajak berdasarkan ordonansi ini penerima penghasilan dipungut pajak
oleh pemberi kerja.
ü Pajak
Peralihan 1944
Setelah
Indonesia merdeka, pajak-pajak tersebut tetap berlaku berdasarkan peraturan
peralihan UUD 1945. Pada tahun 1949, Ordonansi Pajak Pendapatan 1932 diganti
nama menjadi Pajak Perang 1944. Perubahan nama ini dilakukan oleh NICA (The
Netherlands-Indies-Civil Administration) dan berlaku di daerah-daerah yang
diduduki NICA. Pajak Perang kemudian diubah lagi menjadi Pajak Peralihan 1944.
Pada dasarnya, Pajak Peralihan 1944 mengikuti Pajak Pendapatan 1932. Beberapa
perubahan, atau lebih tepatnya penjelasan ditambahkan seperti pembagian sumber
penghasilan menjadi empat macam yaitu penghasilan dari usaha dan pekerjaan,
penghasilan dari barang bergerak, penghasilan dari barang tidak bergerak dan
penghasilan dari pembayaran atas hak-hak.
Perubahan
yang lain adalah pengenaan pajak tidak lagi di awal tahun melainkan di akhir
tahun dengan cara diterbitkan surat ketetapan pajak sementara. Pengenaan pajak
ini dihitung dengan membandingkan pajak tahun sebelumnya. Dari pajak tahun
sebelumnya kemudian ditetapkan pajak untuk tahun berjalan secara sementara.
ü Pajak
Pendapatan 1944
Pajak Pendapatan yang diberlakukan melalui Ordonansi tersebut diatas, berlaku
sampai dengan 31 Desember 1983, adalah produk buatan Belanda yang dibuat di
Australia. Tugasnya menetapkan besarnya pajak terutang yang
merupakan kontribusi masyarakat kepada negara dalam mengisi kas APBN, berada
ditangan fiskus (petugas pajak), yang mencerminkan kurangnya partisipasi serta
peran aktif masyarakat wp dalam menentukan besarnya beban pajak yang harus
mereka pikul.
Besarnya
pajak terutang yang harus dibayar ditetapkan melalui suatu lembaga yang
dinamakan Surat Ketetapan Pajak (SKP), yang untuk tahun berjalan disebut SKP
Sementara, yang kemudian pada akhir tahun diterbitkan lagi SKP Rampung, dengan
mengurangkan pajak terutangnya dari SKP Sementara.
Subjek
Pajaknya dibagi 2 (dua) yaitu :
1. Subjek
Pajak dalam negeri
2. Subjek
Pajak luar negeri
Yang
dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya terdapat perlakuan yang
berbeda, antara lain bagi Subjek dalam negeri berlaku azas domisili, sedangkan
bagi Subjek Pajak luar negeri berlaku azas sumber. Objek (sasaran)
pajak pada Pajak Pendapatan 1944, menganut pengertian sempit, dimana yang
dikenakan pajak hanya pendapatan-pendapatan yang berasal dari 4 sumber
pendapatan yaitu :
1. Hasil
dari usaha dan tenaga.
2. Hasil
dari harta bergerak.
3. Hasil
dari harta tak gerak,
4. Hak
atas bayaran berkala.
Pengertian
pendapatan selain berbentuk uang, juga bukan uang seperti natura dan/atau
kenikmatan yang diterima atau diperoleh seseorang. Tarif pajak yang
berlaku ada 2 macam, yaitu :
§ Tarif
umum, ada 19 lapisan tarif progresif, tarif marginal mulai dari 5% sampai dengan
50%.
§ Tarif
khusus, yang berlaku bagi pendapatan tertentu sebesar 10%
Pendapatan
yang dikenakan pajak adalah Pendapatan Bersih, yaitu Pendapatan yang telah
diurangi dengan Batas Pendapatan Bebas Pajak (BPBP). Besarnya BPBP setiap tahun
ditentukan menurut Keputusan Menteri Keuangan.
Ketentuan
Pajak Pendapatan 1944 lahir pada tahun 1957. Ketentuan ini merupakan peleburan
dari ketentuan Pajak Bumi, Pajak Peralihan 1944, dan Pajak Upah 1935. Maka
sejak 1957 berlaku dua Undang-undang pajak penghasilan yaitu Ordonansi Pajak
Perseroan 1925 dan Ordonansi Pajak Pendapatan 1944.
Pada
ketetentuan yang baru ini, sistem pembayaran pajak diubah yang semula
ditetapkan menjadi mekanisme menghitung dan membayar pajak sendiri (MPS) dan
memungut pajak orang lain (MPO). MPO merupakan perubahan mekanisme pembayaran
atas Pajak Upah. MPS merupakan cikal bakal sistem self assesment yang berlaku hingga saat ini. Pada
sistem MPS, wajib pajak melunasi pajaknya selama tahun berjalan dengan cara
menghitung sendiri pajak terhutang dan melunasinya ke kas negara.
Dasar pengenaan MPS adalah penjualan bruto atau penerimaan bruto
atau jumlah lain yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak. Tarif umum MPS
sebesar 1%, sama dengan tarif pajak pada Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 yang
berlaku saat ini. Perbedaannya, tarif MPS bukan merupakan tarif pajak final,
artinya pembayaran pajaknya dapat diperhitungkan pada saat pelaporan pajak untuk seluruh tahun
pajak. Di samping tarif umum, sistem MPS juga mengenakan
tarif lain sesuai dengan jenis usaha wajib pajak.
Adapun
sistem MPO menggunakan tarif sebesar 2% dari peredaran. Pemerintah menunjuk
perusahaan dan kantorpemerintah sebagai wajib pungut MPO atas semua transaksi
yang dilakukan. Pada ketentuan ini juga dikenalkan witholding tax atas deviden
yang kemudian diperluas menjadi pajak atas bunga, deviden dan royalti (PBDR).
PDBR yang dikenakan atas pembayaran bunga, deviden dan royalti keluar negeri,
bersifat final.
Sistem
MPS dan MPO menggunakan peredaran sebagai dasar pemungutan. Hal ini tidak
sejalan dengan pajak penghasilan sebab pajak telah berubah menjadi pajak
transaksi dengan sifat-sifat pajak tidak langsung. Pajak transaksi ini juga
dikenal sebagai pajak peredaran.
Perubahan
penting lainnya adalah mulai terlihat ketentuan pajak yang bersifat mengatur
(regulerend). Berbagai macam tarif pajak untuk perseroan bermunculan dan Pajak
Penghasilan 1944 menjadi pajak schedular, yaitu pajak yang dikenakan
tergantung dengan jenis pendapatan yang diperoleh.
ü Menghitung
Pajak Sendiri (MPS), dan Menghitung Pajak Orang lain (MPO)
Sistem
ini diintrodusir melalui UU No. 8 Tahun 1967, juncto PP No. 11 Thn 1967.
MPS-MPO merupakan tatacara (sistem) dari pelaksanaan pemenuhan Pajak
Pendapatan, Pajak Perseroan, termasuk juga Pajak Kekayaan, dan bukan jenis
pajak baru. Dengan sistem ini WP diberi kepercayaan untuk
Menghitung, Menyetor, serta Melaporkan kewajiban pajaknya sendiri, selama tahun
berjalan, walaupun pada akhir tahun besarnya pajak terutang kembali ditetapkan
oleh Fiskus secara jabatan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Rampung,
sehingga dapat disebut sistem semi self-assessment.
Di
lain pihak system MPO, adalah Menghitung, Memungut, Menyetor, dan Melaporkan
Pajak Orang lain, apabila berhubungan dengan pihak yang ditunjuk oleh Kantor
Pajak sebagai pemungut. Kepada yang kena pungut oleh pemungut diberikan bukti
pungutan yang dapat digunakan oleh yang bersangkutan sebagai pengurang pajak
terutang pada akhir tahun. Sistem MPS-MPO berjalan secara paralel selama tahun
berjalan, dan sistem inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya sistem
Self-Assessment pada saat sekarang.
Kedua
tatacara pembayaran dan pemotongan akan menjadi kredit pajak (pembayaran
dimuka) pada akhir tahun pajak. Ekses yang terjadi dari pelaksanaan
sistem MPS-MPO dalam praktek, menjelmanya MPO menjadi jenis pajak tersendiri,
ini terlihat dari laporan penerimaan pajak yang dipublikasikan Direktorat
Jenderal Pajak di era tersebut, dengan mencantumkan besarnya penerimaan MPO
setiap tahun, di samping penerimaan Pajak Pendapatan, PPs, dan Pajak Kekayaan,
suatu hal menyimpang dari tujuan MPO sebagai salah satu sistem mengangsur pajak
terutang selama tahun berjalan.
ü Pajak
atas Bunga, Deviden, dan Royalty (PBDR)-UU PBDR 1970.
Latar
belakang yang melahirkan PBDR, adalah bahwa berdasarkan Ordonansi PPd. 1944,
dan Ordonansi PPs. 1925, tidak semua orang dan badan yang bertempat tinggal di
luar Indonesia dapat dikenakan pajak walaupun mereka memperoleh/menerima
pendapatan dari sumber-sumber yang berasal atau datang dari Indonesia, maka
untuk menggali potensi pajak dari sumber-sumber tersebut, lahirlah Perpu No.12
Tahun 1959, yang mengatur pengenaan pajak atas deviden yang dibayarkan ke luar
negeri dengan sistem withholding tax, yang kemudian lebih terkenal dengan nama
Undang-Undang Pajak Deviden 1959.
Dengan
terbukanya perekonomian Indonesia terhadap pihak luar, maka banyak investor
dari luar negeri yang melakukan kegiatan baik langsung maupun tidak langsung,
membuka kegiatan/usaha/partispasi ke Indonesia sehingga pendapatan bukan hanya
dalam bentuk Deviden tapi telah berkembang dalam bentuk lain seperti bunga, dan
royalty. Oleh karena itu UU Pajak Deviden diperluas objeknya, dan diganti
dengan Undang-Undang Pajak atas Bunga, Deviden, dan Royalti (UU No. 10 Tahun
1970).
Bagi
WP dalam negeri, pembayaran PBDR yang dilakukan melalui pemotongan tersebut,
merupakan pembayaran pajak dimuka (cicilan) dari Pajak yang terutang pada akhir
tahun melalui perhitungan SKP Rampung. Bagi WP luar negeri
pemotongan PBDR merupakan pembayaran pajak bersifat final.
C. Latar Belakang Perubahan Undang-Undang PPh
Dengan pesatnya perkembangan sosial
ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi di
berbagai bidang, dipandang perlu untuk dilakukan perubahan Undang-Undang Pajak
Penghasilan guna meningkatkan fungsi dan peranannya dalam rangka mendukung
kebijakan pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi.
Perubahan Undang-Undang Pajak
Penghasilan dimaksud tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang
dianut secara universal, yaitu keadilan, kemudahan, dan efisiensi administrasi,
serta peningkatan dan optimalisasi penerimaan negara dengan tetap
mempertahankan sistem self assessment. Oleh karena itu, arah dan tujuan
penyempurnaan Undang-Undang Pajak Penghasilan ini adalah sebagai berikut:
1.
Lebih
meningkatkan keadilan pengenaan pajak
Dalam rangka meningkatkan keadilan
pengenaan pajak maka dilakukan perluasan subjek dan objek pajak dalam
hal-hal tertentu dan pembatasan pengecualian atau pembebasan pajak dalam hal
lainnya.
2.
Lebih
memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak;
Dalam rangka meningkatkan daya saing
dengan negera-negara lain, mengedepankan prinsip keadilan dan netralitas dalam
penetapan tarif, dan memberikan dorongan bagi berkembangnya usaha-usaha kecil,
struktur tarif pajak yang berlaku juga perlu diubah dan disederhanakan.
Perubahan dan penyederhanaan struktur tarif ini meliputi penurunan tarif secara
bertahap, terencana, pembedaan tarif, serta penyederhanaan lapisan yang
dimaksudkan untuk memberikan beban pajak yang lebih proporsional bagi tiap-tiap
golongan Wajib Pajak tersebut
3.
Lebih
memberikan kesederhanaan administrasi perpajakan;
Untuk lebih memberikan kemudahan
kepada Wajib Pajak, sistem self assessment tetap dipertahankan dan
diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan pada sistem pelaporan dan tata cara
pembayaran pajak dalam tahun berjalan agar tidak mengganggu likuiditas Wajib
Pajak dan lebih sesuai dengan perkiraan pajak yang akan terutang. Bagi Wajib
Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, kemudahan yang
diberikan berupa peningkatan batas peredaran bruto untuk dapat menggunakan
norma penghitungan penghasilan neto. Peningkatan batas peredaran bruto untuk
menggunakan norma ini sejalan dengan realitas dunia usaha saat ini yang makin
berkembang tanpa melupakan usaha dan pembinaan Wajib Pajak agar dapat
melaksanakan pembukuan dengan tertib dan taat asas.
4.
Lebih
memberikan kepastian hukum, konsistensi, dan transparansi; dan
5.
Lebih menunjang kebijakan pemerintah dalam
rangka meningkatkan daya saing dalam menarik investasi langsung di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pajak
Penghasilan atau biasa disebut PPh merupakan pajak yang dibebankan kepada
seseorang atau invidu, perusahaan atau badan hukum. Sejarah Pajak Penghasilan
telah dimulai sejak jaman Romawi Kuno hingga pada akhirnya menyebar ke seluruh
dunia, termasuk Indonesia dengan serentetan perubahan-perubahan terhadap
kebijakan pajak atas penghasilan.
B. Saran
Penulis telah menjabarkan mengenai Pajak Penghasilan dalam makalah
ini. Penulis memberikan rekomendasi kepada :
1.
Masyarakat
Kepada masyarakat, diharapkan menaati dan memenuhi
kewajibannya dalam membayar pajak,
seperti Pajak Penghasilan (PPh).
2. Pelajar
Kepada para pelajar, diharapkan dapat memperluas wawasannya
mengenai pajak, seperti Pajak Penghasilan (PPh).
3. Pembaca
Penulis menyadari akan adanya kekurangan dalam penulisan makalah
ini, untuk itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat
dibutuhkan.
DAFTAR PUSTAKA
Modul
Pajak Penghasilan DTSD Pajak Revisi untuk Angkatan II (2014)
Staatsblad
Van Nederlandsch – Indie.
Peraturan
Pemerintah No. 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Mansury,
R., Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia, Bina
Rena Pariwara, 1994.
Priyatmoko,
Heri., Opini: KPK dan Sejarah Pajak, joglosemar.co
http://forumpajak.org/kilasan-sejarah-pajak-penghasilan-indonesia/
http://blogewisnu.blogspot.com/2013/03/riwayat-singkat-pengenaan-pajak.html?m=1
https://solusibisnis.co.id/sejarah-pajak-penghasilan-di-indonesia.html
http://saifulrahman.lecture.ub.ac.id/2013/10/pajak-penghasilan/
http://masfalih.blogspot.com/2008/11/pokok-pokok-perubahan-uu-pph.html
No comments:
Post a Comment