A. Sejarah Pajak Atas Tanah di Indonesia
Pajak
bumi merupakan pungutan yang dikenal sejak manusia hidup dengan penguasa.
Perkembangannya di Indonesia tidak terlepas dari perjalanan sejarah politik. Pajak
atas Tanah sudah dikenakan kepada masyarakat
Indonesia sejak masa sebelum kemerdekaan. Berdasarkan kronologisnya,
sejarah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terbagi dalam tiga zaman yaitu Zaman
Kerajaan, Zaman Penjajahan, dan Zaman Kemerdekaan.
1.
Zaman Kerajaan
Pemungutan pajak atas tanah telah dimulai pada masa berdirinya kerajaan-kerajaan di nusantara antara lain : Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, dan Kerajaan Mataram Hindu.
·
Zaman Indonesia-Hindu (Abad ke V-XVI)
Kerajaan-kerajaan
Indonesia Hindu lahir sekitar abad ke-5. Raja yang menurut hukum hindu bukan
merupakan pemilik mutlak atas tanah kerajaannya, memungut pajak atas tanah
dengan nama “drwyahaji” yang berarti
bagian panen milik raja dengan obyek pajak berupa sawah dan tanah-tanah lain
yang menghasilkan. Prasasti Kmewu (Blitar 907 M) menunjukkan bahwa “drwyahaji” ditetapkan berdasarkan luas tanah yang diukur
cermat oleh petugas kerajaan dan besarnya ketetapan pajak per desa dimuat dalam
suatu piagam permanen (prasasti).
·
Zaman Kerajaan Islam (Abad ke-XVII)
Kerajaan
Mataram II menggaduhkan tanah garapan kepada para petani dan ketentuan yang
disebut dengan “maro” dan “mertelu” yaitu dengan menarik setengah
atau sepertiga bagian dari hasil panen sebagai pungutan periodik atau “pasukan adjeg” yang kemudian diberi
nama “padjeg”. Pemungutan pajak di
Kerajaan Aceh disebut dengan Wase Tanah, artinya pungutan terhadap akte tanah.
Pemungutan di Kerajaan Banjar disebut “jawian”
(Pemungutan 10 % dari hasil panen), Kerajaan Ternate memungut 10 % dari harga
jual hasil bumi//hutan, dan Beberapa Kerajaan di Sulawesi Selatan memungut 10 %
dari hasil panen padi.
Pada
masa itu kerajaan-kerajaan tersebut akan mengambil upeti dari para penguasa
wilayah (Adipati) yang masih dalam lingkup wilayah kekuasaan Kerajaan Dasar
pembebanan “pajeg bumi”. “Pajeg bumi” merupakan konsep hak
pemilikan raja atas tanah.
Pada
awalnya pajak merupakan sebuah upeti atau pemberian secara cuma-cuma. Bentuknya
berupa padi, ternak, atau hasl tanaman lain, misalnya kelapa, pisang, dan
lain-lain. Namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang
harus dilaksanakan oleh rakyat kepada raja atau penguasa.
Dalam
perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk
kepentingan raja saja, tetapi juga sudah mengarah kepada kepentingan rakyat itu
sendiri. Artinya telah digunakan untuk kepentingan umum seperti untuk menjaga
keamanan rakyat, memelihara jalan, pembangunan saluran air, membangun sarana
sosial lainnya, serta kepentingan umum lainnya.
2.
Zaman Penjajahan
a.
Tahun 1685- 1811
Pajak
tanah mulai diberlakukan wilayah Jakarta dengan tarif sebesar 0,25 % dari harga
tanah yang berlaku untuk jangka waktu tiga tahun.
b.
Tahun 1811-1816 (Pendudukan Inggris)
Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Kerajaan Inggris di
Indonesia menetapkan tarif pajak yang bervariasi antara 20 % sampai 50 % dari
produksi pertanian, tergantung jenis hasil bumi yang dapat dibayar dalam bentuk
uang maupun berbagai hasil bumi. Awal abad 19 (tahun
1811 – 1816) mulai dikenal adanya ’Landrent’ dengan ketentuan:
·
Semua tanah milik pemerintah
·
Rakyat membayar
sewa (rent) kepada Pemerintah
·
Biaya sewa dibebankan kepada desa, dan
besarnya berkisar antara ¼ s.d ½ % hasil bumi
c.
Tahun 1872-1923 (Pendudukan Belanda)
Kerajaan
Belanda melanjutkan kebijakan pajak tanah yang disebut Landrente dengan
memunculkan gagasan sistem kultuurstelsel (tanam paksa), rakyat tidak dipungut
uang, melainkan kewajiban menanami 20 % tanah garapan dengan tanaman wajib dan
menyerahkan hasil tanaman yang dimaksud melalui organisasi desa. Jenis-jenis tanaman
yang wajib ditanam, yaitu tebu, nila, teh, tembakau, kayumanis, kapas,
merica (lada), dan kopi
d.
Tahun 1923-1942 (Pendudukan Belanda)
Pada tahun 1928, pemerintah kolonial Belanda menerapkannya untuk
seluruh orang Indonesia yang memiliki tanah (Urban Land), dimana merupakan
tanah adat yang tunduk pada hukum barat. Yang menjadi obyek pajak
adalah tanah milik adat, sehingga pada waktu itu tanah dibedakan menjadi tanah
milik adat dan tanah hak barat sehingga dikenal adanya Verponding
dan Verponding Indonesia.
Sistem pajak yang
berlaku adalah:
§
Hasil bersih penahun
§
Klasifikasi tanah
§
Persentase pajak
§
Dikenakan per bidang tanah
e.
Tahun 1942-1945 (Pendudukan Jepang)
Di
masa penjajahan Jepang tahun 1942 sampai dengan tahun 1945, sistem pajak tanah
yang dilaksanakan Belanda diambil alih sepenuhnya dan namanya diganti Menjadi
Pajak Tanah. Land Rent atau Landrente diganti dengan Land Tax. Administrasi
pajak ditangani oleh kantor pajak yang disebut “Zaimubu Shuzeika” yang sekaligus bertugas untuk melakukan survei
dan pemetaan di Pulau Jawa dan Madura.
3.
Zaman Kemerdekaan
a.
Pemerintah RI meneruskan pemungutan pajak
atas tanah dengan nama pajak bumi.
b.
Tahun 1949-1956 (Pajak Bumi diganti dengan
Pajak Pendapatan Tanah)
Pada
tahun 1950 jawatan Pajak Bumi berubah menjadi jawatan Pendaftaran dan pajak
Pendapatan Tanah. Pemerintah RI meneruskan pemungutan pajak atas tanah dengan
nama Pajak Bumi yang kemudian diganti dengan Pajak Penghasilan atas Tanah
Pertanian (PTPP) yang diatur dengan UU No 14 tahun 1951 tentang Penghapusan
Pajak Bumi.
Kemudian pada tahun 1956. Jawatan Pendaftaran
dan Pajak Pendapatan Tanah berubah menjadi Jawatan Pendaftaran Tanah Milik
Indonesia (PTMI), tugas pokok melakukan pendaftaran tanah milik terdaftar
sebagai objek pajak.
c.
Tahun 1959-1985
UU
no 11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi dimana “hasil yang diperoleh dari tanah” dijadikan dasar pengenaan pajak,
bukan didasarkan atas nilai tanah. Kemudian pada tahun 1965 Pajak Hasil Bumi
(PHB) diubah menjadi Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA), yang merupakan pajak
pemerintah pusat namun dipergunakan untuk membiayai pembangunan daerah.
Pengenaannya diberlakukan pada tanah-tanah sektor pedesaan, perkotaan,
perkebunan, perhutanan, dan sektor pertambangan.
d.
Tahun 1985-Sekarang
Diterapkan
UU no 12 tahun 1985 tentang PBB, yaitu mulai berlaku efektif sejak tahun 1986
serta menyederhanakan sistem pajak dengan menghapuskan 7 dasar hukum pajak atas
properti yaitu :
1.
Ordinansi Pajak Rumah Tangga 1908
2.
Ordinansi Verponding Indonesia 1923
3.
Ordinansi Verponding 1928
4.
Ordinansi Pajak Kekayaan 1932
5.
Ordinansi Pajak Jalan 1942
6.
UU Darurat Tahun 1957 tentang Peraturan
Umum Pajak Daerah, Pasal 14 hurud j, k, l
7.
UU no 11 Prp tahun 1959 tentang Pajak
Hasil Bumi.
Pada tahun 1994 UU no 12 tahun 1985 diubah menjadi UU no 12 tahun 1994 tentang PBB.
B. Peralihan Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan
Sejalan
dengan era reformasi, dalam rangka penguatan keuangan daerah untuk melaksanakan
pembangunan dan meningkatkan kemakmuran masyarakat maka pemerintah bersama DPR
mengeluarkan UU no 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Dalam
UU tersebut mengatur ketentuan dari 16 pajak yang akan dikelola oleh Pemerintah
Daerah. Salah satu jenis pajak yang akan dikelola oleh Pemerintah Daerah
berasal dari jenis pajak pusat yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) serta Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2)
Pengalihan
pengelolaan PBB-P2 kepada pemerintah daerah paling lambat diserahkan pada awal
tahun 2014, sehingga bagi pemerintah daerah yang sudah siap mengelola PBB-P2
sebelum tahun 2014 bisa melaksanakannya paling cepat sejak tahun 2011.
Berdasarkan data yang ada pengelolaan PBB-P2 yang dikelola pemerintah daerah
sejak tahun 2011 adalah Kota Surabaya. Untuk Tahun 2012 direncanakan sejumah 12
Pemerintah kabupaten/kota yang akan mengelola PBB-P2
Referensi :
Modul Anung Setia
Nugraha, 2011
https://slideplayer.info/slide/12051746/
https://majalahpajak.net/pajak-dari-masa-ke-masa/
No comments:
Post a Comment